tag:blogger.com,1999:blog-24593205099285373602024-03-08T11:15:12.896-08:00ASKEP-ASKEP-ASKEPKUMPULAN ASUHAN KEPERAWATAN LENGKAP DAN TERKINI, DAN ARTIKEL-ARTIKEL KESEHATAN UPTODATE. DISAJIKAN OLEH : HADI PURWANTO, S.Kep.,Ns.,M.Kes.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-30296327156944319122010-01-20T21:38:00.000-08:002010-01-20T21:39:53.943-08:00ASKEP KLIEN HEMOFILIAASUHAN KEPERAWATAN<br />KLIEN DENGAN HEMOFILIA<br /><br />1. Konsep Teori<br />1.1 Pengertian<br /> Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan salah satu faktor pembekuan darah. Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromoson X. Hemofilia di bedakan menjadi dua, yaitu Hemofilia A yang ditandai karena penderita tidak memiliki zat antihemofili globulin ( faktor VIII ), Hemofilia B atau Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin ( faktor IX ).<br />1.2 Etiologi<br /> Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang sering dijumpai. Hal ini bisa terjadi karena mutasi gen faktor pembekuan darah yaitu faktor VIII atau faktor IX kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif. Hemofilia lebih banyak terjadi pada laki-laki, karena mereka hanya mempunyai satu kromosom X, sedangkan wanita umumnya sebagai pembawa sifat saja (carier). Namun wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier dan bersifat letal.<br />1.3 Patofisiologi<br /> Perdarahan karena gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada jaringan yang letaknya dalam seperti otot, sendi, dan lainnya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap pertama, dimana tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme pembekuan yang terdapat pada hemofili A dan B. Perdarahan mudah terjadi pada hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di awali ketika seseorang berusia ± 3 bulan atau saat akan mulai merangkak maka akan terjadi perdarahan awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya.<br /> Hemofilia juga dapat menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya adalah ketika mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh). Darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil kemudian Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh apabila kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman ( Benang Fibrin) penutup luka tidak terbentuk sempurna, akibatnya darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh. Sehingga terjadilah perdarahan.<br />1.4 Diagnosis<br />Pemeriksaan Lab. darah<br />Hemofilia A :<br /> - Defisiensi factor VIII<br /> - PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang<br /> - PT (Prothrombin Time/ waktu protombin) memanjang<br /> - TGT (Thromboplastin Generation Test) <br /> - Jumlah trombosit dan waktu perdarahan normal<br />Hemofilia B :<br /> - Defisiensi factor IX<br /> - PTT (Partial Thromboplastin Time) amat memanjang<br /> - PT (Prothrombin Time)/ waktu protombin dan waktu perdarahan normal<br /> - TGT (Thromboplastin Generation Test)<br />1.5 Komplikasi, manifestasi klinis dan anamnesa.<br /> Pada hemofilila dapat terjadi komplikasi seperti di bawah ini, yaitu:<br />a) Adanya Nyeri.<br />b) Bengkak pada persendian<br />c) Terjadi Anemia.<br />d) Kelainan bentuk sendi dan otot.<br />e) Gangguan Mobilisasi.<br />Adapun manifestasi klinis yang dapat terjadi pada hemophilia:<br />a) Perdarahan hebat setelah suatu trauma ringan<br />b) Perdarahan spontan yang berulang-ulang pada sendi-sendi.<br />c) Perdarahan yang luar biasa setelah Ekstraksi Gigi.<br />d) Hematom pada jaringan lunak<br />e) Hemartrosis dan kontraktur sendi<br />f) Hematuria<br />g) Perdarahan serebral<br /> Anamnesa Atau Pemeriksaan Fisik<br />a. Aktivitas<br />Tanda : Kelemahan otot<br />Gejala : kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktivitas.<br />b. Sirkulasi<br />Tanda : kulit, membran mukosa pucat, defisit saraf serebral/ tanda<br />perdarahan serebral<br />Gejala : Palpitasi<br />c. Eliminasi<br />Gejala : Hematuria<br />d. Integritas Ego<br />Tanda : Depresi, menarik diri, ansietas, marah.<br />Gejala : Perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya.<br />e. Nutrisi<br />Gejal : Anoreksia, penurunan berat badan.<br />f. Nyeri<br />Tanda :.Perilaku berhati-hati, gelisah, rewel.<br />Gejala : Nyeri tulang, sendi, nyeri tekan sentral, kram otot<br />g. Keamanan<br />Tanda : Hematom.<br />Gejala : Riwayat trauma ringan.<br />-Terjadi perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai dengan rasa<br />nyeri dan terjadi bengkak.<br />-Perdarahan sendi yang berulang menyebabkan menimbulkan Atropati hemofilia<br />dengan menyempitnya ruang sendi, krista tulang dan gerakan sendi yang terbatas.<br />-Biasanya perdarahan juga dijumpai pada Gastrointestinal, hematuria yang<br />berlebihan, dan juga perdarahan otak.<br />-Terjadi Hematoma pada Extrimitas.<br />-Keterbatasan dan nyeri sendi yang berkelanjutan pada perdarahan.<br /><br />1.6 Terapi pengobatan hemofilia<br /> Terapi akibat perdarahan akut adalah pemberian F VIII. Sekarang sudah ada F VIII yang dapat di berikan secara intra vena, dan apabila tidak mempunyai F VIII maka dapat di berikan kriopresipitat (plasma yang didinginkan) atau di berikan transfusi darah segar.<br />2. Asuhan Keperawatan<br />2.1 Pengkajian <br />a. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.<br />b. Alasan MRS: hal apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.<br />c. Riwayat kesehatan<br />▪ Riwayat kesehatan sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.<br />▪ Riwayat kesehatan dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang lain.<br />▪ Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.<br />▪ Pola istirahat dan tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola nutrisi: bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola eliminasi: bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola hubungan dan peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pemeriksaan fisik: pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.<br /> Pemriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.<br />2.2 Analisa data<br />Yaitu pengambilan data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien. <br />2.3 Diagnose keperawatan<br />Resiko kekurangan volume cairan b.d faktor resiko kehilangan cairan melalui rute abnormal (perdarahan).<br />2.4 Intervensi.<br />▪ Monitor pasien dalam penghentian perdarahan.<br />▪ Catat jumlah Hb/ hematokrit sebelum dan sesudah perdarahan,<br />▪ Lindungi pasien dari trauma dimana kemungkinan bisa menyebabkan perdarahan.<br />▪ Identifikasi penyabab perdarahan.<br />▪ Monitor jumlah dan pembawaan darah yang keluar.<br />▪ Menginstruksikan pasien dalam pembatasan aktivitas, jika memungkinkan.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />-Murray, Robert K.2003.Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta: EGC.<br />-Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.<br />- Anonym. Hemofilia. http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/ Hemophilia.gif [Desember, 2nd 2007]<br /><br />-Anonym. Hemofilia. http://healthresources.caremark.com/Imagebank/Articles_images/ Hemophilia_02.gif [Desember, 2nd 2007]<br /><br />-Anonim. 1998. Perawatan Kesehatan Penderita Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/perawatan.php [Desember, 2nd 2007]<br /><br />-Anonim. 1998. Keturunan Hemofilia. http://www.hemofilia.or.id/keturunan.php [Desember, 2nd 2007]skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-62511661242581308452010-01-20T21:37:00.000-08:002010-01-20T21:38:05.558-08:00ASKEP KLIEN CA KEL. GETAH BENINGASUHAN KEPERAWATAN<br /> KLIEN DENGAN CA KELENJAR GETAH BENING<br />1. Konsep Teori<br />1.1 Pengertian<br /> Ca getah bening adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, sel tersebut cepat menggandakan diri dan tumbuh secara tidak terkontrol, Limfoma Non Hodgkin disingkat jadi LNH.<br />1.2 Etiologi<br /> Adanya mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal menjadi tidak terkontrol dan tumbuh secara cepat. Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain.<br /> Cairan limfatik adalah cairan putih menyerupai susu yang mengandung protein lemak dan limfosit yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh lewat pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu sel B dan T. Sel B berfungsi membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan membuat antibodi yang memusnahkan bakteri. Gejala dan penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak atau pangkal paha. Pembengkakan kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan secara drastis, rasa lelah yang terus menerus, batuk-batuk dan sesak napas, gatal-gatal, demam tanpa sebab dan berkeringat malam hari.<br /> Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, maka selain di kelenjar getah bening tempat yang paling sering terkena Limfoma adalah limpa dan sumsum tulang. Selain itu bisa terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini. Limfoma pada otak atau urat saraf tulang belakang disebut limfoma susunan saraf pusat (SSP). Penyakit Limfoma dapat menyerang disegala usia, namun lebih sering menyerang usia tua kurang lebih 65 tahun. <br /> Tidak ada bukti adanya faktor keturunan yang berhubungan dengan kasus-kasus limfoma non Hodgkin. Penyebab pasti dari penyakit Limfoma sampai saat ini belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang menunjang penyakit ini yaitu:<br />1. Beberapa infeksi seperti HIV/AIDS, leukemia, dan Epstein-Barr virus (EBV).<br /> Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap Limfoma non Hodgkin dari pada orang lainnya. Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi.<br /> Limfoma Burkitts adalah bentuk sangat agresif dari Limfoma non Hodgkin. Pengobatan harus agresif dan umumnya melibatkan pengobatan yang ditujukan pada susunan saraf pusat ditambah regimen kemoterapi intravena. Pasien seringkali diberikan kemoterapi intensif yang melibatkan banyak obat, dan perlu dirawat di rumah sakit selama pengobatannya. Meski demikian, mayoritas pasien yang berusia lebih muda dengan bentuk penyakit ini dapat disembuhkan.<br />2. Penyakit dan obat-obatan yang dapat melemahkan system kekebalan.<br />1.3 Gejala Ca getah bening<br /> Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan, dan tidak ada tanda-tanda radang. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma non-Hodgkin. Namun , tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.<br />Terdapat 3 gejala spesifik pada Limfoma :<br />- Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC<br />- Sering keringat malam<br />- Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan<br />1.4 Diagnosis<br /> Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma non Hodgkin.<br />Ada beberapa jenis biopsi:<br />- Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar<br />- Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.<br />- Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah Limfoma non Hodgkin telah melibatkan sumsum tulang.<br />Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut. <br />- Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening<br />- Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.<br />- Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.<br />- Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak<br />1.5 Terapi/Pengobatan<br /> Pengobatan pada Limfoma Non Hodgkin dapat dilakukan melalui beberapa cara, sesuai dengan diagnosis dari beberapa faktor seperti apakah pernah kambuh, stadium berapa, umur, kondisi badan, kebutuhan dan keinginan pasien. Secara garis besar penyembuhan terjadi sekitar 93%, membuat penyakit ini sebagai salah satu kanker yang paling dapat disembuhkan.<br /> Berikut ini cara-cara pengobatan penyakit Limfoma : Kemoterapi, Terapi antibodi monoklonal, Terapi Radiasi, Transplantasi, Pembedahan, Terapi eksperimental, atau Penatalaksanaan gejala. (Tentu saja keputusan dari dokter, bukan dari kita)<br />1.5.1 Kemoterapi<br />Obat-obat kemoterapi bertujuan untuk merusak dan membunuh semua sel limfoma di seluruh tubuh. Sasarannya adalah semua sel yang membelah dengan cepat. Salah satu obat kemoterapi yang paling sering diberikan adalah chlorambucil, dalam bentuk tablet yang diberikan per oral.<br />1.5.2 Radioterapi<br />Digunakan jika penyakitnya hanya pada satu atau dua daerah tubuh. Kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan pengobatan selanjutnya yang berguna pada sebagian pasien.<br />1.5.3 Antibodi monoclonal<br />Yang paling umum dipakai dalam pengobatan Limfoma non Hodgkin adalah rituximab. Rituximab efektif dalam pengobatan beberapa tipe Limfoma non Hodgkin yang paling umum. Rituximab umumnya diberikan dalam kombinasi dengan kemoterapi, meskipun pada beberapa keadaan diberikan tunggal. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghancurkan sel-sel limfoma non Hodgkin secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel lainnya.<br />1.5.4 Pengobatan dengan radiasi<br />Membunuh sel-sel di tubuh dengan merusak DNA, sehingga sel tidak dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena radiasi dapat membunuh sel normal bersama sel yang sakit, penting bahwa pemakaian radiasi sebagai terapi diarahkan setepat mungkin pada sel yang menimbulkan penyakit sebagai upaya mengurangi efek samping. Umumnya diberikan pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua kelenjar getah bening yang terserang. Di sini, berkas radiasi dipusatkan pada daerah yang terkena untuk membunuh sel-sel yang sakit. <br />1.5.5 Transplantasi berguna untuk menghancurkan sumsum tulang<br />Selanjutnya digantikan dengan sel-sel induk yang ditransplantasikan. Biasanya melibatkan pemakaian kemoterapi dosis tinggi atau dengan radioterapi. Transplantasi dibagi dalam 2 kelompok :<br />- Alogenik (berbeda secara genetik), sel induk berasal dari orang lain donor. Donor dapat berupa keluarga, idealnya saudara kembar<br />- Otologus (dari tubuh pasien sendiri), sel induk berasal dari pasien sendiri, dikumpulkan sebelum kemoterapi dosis tinggi, kemudian akan ditransplantasikan kembali pada mereka.<br />1.5.6 Pembedahan dapat dilakukan dengan cara splenektomi<br /> Jika limpa sudah terkena limfoma non Hodgkin, pengangkatan ini dikenal sebagai splenektomi. Ini dilakukan dengan anestesi umum. Orang yang telah menjalani splenektomi lebih mungkin terkena infeksi bakteri, dan seharusnya mendapat vaksinasi untuk mencegahnya.<br />1.5.7 Pengobatan terapi eksperimental<br />Pengobatan jenis ini hanya akan disarankan oleh dokter jika jenis-jenis pengobatan yang tersebut di atas belum bisa berhasil. Pengobatan ini ditujukan pada pasien yang menderita Limfoma non Hodgkin yang selalu kambuh setelah pengobatan atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap pengobatan normal. Ini disebabkan karena pengobatan eksperimental dapat menimbulkan lebih banyak efek samping daripada pengobatan yang sudah standar. Hanya pada kasus-kasus tertentu ahli akan menganjurkan penggunaan pengobatan yang baru atau eksperimental tanpa mencoba lebih dulu pengobatan yang sudah teruji.<br />2. Asuhan Keperawatan<br />2.1 Pengkajian <br />a. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.<br />b. Alasan MRS: hal apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.<br />c. Riwayat kesehatan<br />▪ Riwayat kesehatan sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.<br />▪ Riwayat kesehatan dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang lain.<br />▪ Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.<br />▪ Pola istirahat dan tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola nutrisi: bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola eliminasi: bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola hubungan dan peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ <br />▪ Pemeriksaan fisik: pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.<br />▪ Pemriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.<br />2.2 Analisa data<br />Yaitu pengambilan data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien. <br />2.3 Diagnosa keperawatan<br />Ansietas berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening<br />2.4 Intervensi <br />▪ Mengkaji ukuran pembengkakan.<br />▪ Mengkaji karakteristik pembengkakan.<br />▪ Memberikan informasi kepada pasien.<br />▪ Membantu mengatur posisi pasien dengan memperhatikan daerah pembengkakan.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Jonhson,Marion;Maas,Maridean,Moorhead,Sue.2000.Nursing Outcomes Classification (NOC).Phiadelphia:Mosby.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-81988002365516423892010-01-20T21:26:00.000-08:002010-01-20T21:27:02.204-08:00ASKEP KLIEN CA KEL. GETAH BENINGASUHAN KEPERAWATAN<br /> KLIEN DENGAN CA KELENJAR GETAH BENING<br />1. Konsep Teori<br />1.1 Pengertian<br /> Ca getah bening adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, sel tersebut cepat menggandakan diri dan tumbuh secara tidak terkontrol, Limfoma Non Hodgkin disingkat jadi LNH.<br />1.2 Etiologi<br /> Adanya mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal menjadi tidak terkontrol dan tumbuh secara cepat. Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain.<br /> Cairan limfatik adalah cairan putih menyerupai susu yang mengandung protein lemak dan limfosit yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh lewat pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu sel B dan T. Sel B berfungsi membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan membuat antibodi yang memusnahkan bakteri. Gejala dan penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak atau pangkal paha. Pembengkakan kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan secara drastis, rasa lelah yang terus menerus, batuk-batuk dan sesak napas, gatal-gatal, demam tanpa sebab dan berkeringat malam hari.<br /> Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, maka selain di kelenjar getah bening tempat yang paling sering terkena Limfoma adalah limpa dan sumsum tulang. Selain itu bisa terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini. Limfoma pada otak atau urat saraf tulang belakang disebut limfoma susunan saraf pusat (SSP). Penyakit Limfoma dapat menyerang disegala usia, namun lebih sering menyerang usia tua kurang lebih 65 tahun. <br /> Tidak ada bukti adanya faktor keturunan yang berhubungan dengan kasus-kasus limfoma non Hodgkin. Penyebab pasti dari penyakit Limfoma sampai saat ini belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang menunjang penyakit ini yaitu:<br />1. Beberapa infeksi seperti HIV/AIDS, leukemia, dan Epstein-Barr virus (EBV).<br /> Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap Limfoma non Hodgkin dari pada orang lainnya. Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi.<br /> Limfoma Burkitts adalah bentuk sangat agresif dari Limfoma non Hodgkin. Pengobatan harus agresif dan umumnya melibatkan pengobatan yang ditujukan pada susunan saraf pusat ditambah regimen kemoterapi intravena. Pasien seringkali diberikan kemoterapi intensif yang melibatkan banyak obat, dan perlu dirawat di rumah sakit selama pengobatannya. Meski demikian, mayoritas pasien yang berusia lebih muda dengan bentuk penyakit ini dapat disembuhkan.<br />2. Penyakit dan obat-obatan yang dapat melemahkan system kekebalan.<br />1.3 Gejala Ca getah bening<br /> Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan, dan tidak ada tanda-tanda radang. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma non-Hodgkin. Namun , tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.<br />Terdapat 3 gejala spesifik pada Limfoma :<br />- Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC<br />- Sering keringat malam<br />- Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan<br />1.4 Diagnosis<br /> Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma non Hodgkin.<br />Ada beberapa jenis biopsi:<br />- Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar<br />- Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.<br />- Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah Limfoma non Hodgkin telah melibatkan sumsum tulang.<br />Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut. <br />- Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening<br />- Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.<br />- Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.<br />- Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak<br />1.5 Terapi/Pengobatan<br /> Pengobatan pada Limfoma Non Hodgkin dapat dilakukan melalui beberapa cara, sesuai dengan diagnosis dari beberapa faktor seperti apakah pernah kambuh, stadium berapa, umur, kondisi badan, kebutuhan dan keinginan pasien. Secara garis besar penyembuhan terjadi sekitar 93%, membuat penyakit ini sebagai salah satu kanker yang paling dapat disembuhkan.<br /> Berikut ini cara-cara pengobatan penyakit Limfoma : Kemoterapi, Terapi antibodi monoklonal, Terapi Radiasi, Transplantasi, Pembedahan, Terapi eksperimental, atau Penatalaksanaan gejala. (Tentu saja keputusan dari dokter, bukan dari kita)<br />1.5.1 Kemoterapi<br />Obat-obat kemoterapi bertujuan untuk merusak dan membunuh semua sel limfoma di seluruh tubuh. Sasarannya adalah semua sel yang membelah dengan cepat. Salah satu obat kemoterapi yang paling sering diberikan adalah chlorambucil, dalam bentuk tablet yang diberikan per oral.<br />1.5.2 Radioterapi<br />Digunakan jika penyakitnya hanya pada satu atau dua daerah tubuh. Kemoterapi dosis tinggi merupakan pilihan pengobatan selanjutnya yang berguna pada sebagian pasien.<br />1.5.3 Antibodi monoclonal<br />Yang paling umum dipakai dalam pengobatan Limfoma non Hodgkin adalah rituximab. Rituximab efektif dalam pengobatan beberapa tipe Limfoma non Hodgkin yang paling umum. Rituximab umumnya diberikan dalam kombinasi dengan kemoterapi, meskipun pada beberapa keadaan diberikan tunggal. Tujuan pengobatan ini adalah untuk menghancurkan sel-sel limfoma non Hodgkin secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel lainnya.<br />1.5.4 Pengobatan dengan radiasi<br />Membunuh sel-sel di tubuh dengan merusak DNA, sehingga sel tidak dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena radiasi dapat membunuh sel normal bersama sel yang sakit, penting bahwa pemakaian radiasi sebagai terapi diarahkan setepat mungkin pada sel yang menimbulkan penyakit sebagai upaya mengurangi efek samping. Umumnya diberikan pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua kelenjar getah bening yang terserang. Di sini, berkas radiasi dipusatkan pada daerah yang terkena untuk membunuh sel-sel yang sakit. <br />1.5.5 Transplantasi berguna untuk menghancurkan sumsum tulang<br />Selanjutnya digantikan dengan sel-sel induk yang ditransplantasikan. Biasanya melibatkan pemakaian kemoterapi dosis tinggi atau dengan radioterapi. Transplantasi dibagi dalam 2 kelompok :<br />- Alogenik (berbeda secara genetik), sel induk berasal dari orang lain donor. Donor dapat berupa keluarga, idealnya saudara kembar<br />- Otologus (dari tubuh pasien sendiri), sel induk berasal dari pasien sendiri, dikumpulkan sebelum kemoterapi dosis tinggi, kemudian akan ditransplantasikan kembali pada mereka.<br />1.5.6 Pembedahan dapat dilakukan dengan cara splenektomi<br /> Jika limpa sudah terkena limfoma non Hodgkin, pengangkatan ini dikenal sebagai splenektomi. Ini dilakukan dengan anestesi umum. Orang yang telah menjalani splenektomi lebih mungkin terkena infeksi bakteri, dan seharusnya mendapat vaksinasi untuk mencegahnya.<br />1.5.7 Pengobatan terapi eksperimental<br />Pengobatan jenis ini hanya akan disarankan oleh dokter jika jenis-jenis pengobatan yang tersebut di atas belum bisa berhasil. Pengobatan ini ditujukan pada pasien yang menderita Limfoma non Hodgkin yang selalu kambuh setelah pengobatan atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap pengobatan normal. Ini disebabkan karena pengobatan eksperimental dapat menimbulkan lebih banyak efek samping daripada pengobatan yang sudah standar. Hanya pada kasus-kasus tertentu ahli akan menganjurkan penggunaan pengobatan yang baru atau eksperimental tanpa mencoba lebih dulu pengobatan yang sudah teruji.<br />2. Asuhan Keperawatan<br />2.1 Pengkajian <br />a. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dll.<br />b. Alasan MRS: hal apa yang bisa menyebabkan sampai masuk rumah sakit.<br />c. Riwayat kesehatan<br />▪ Riwayat kesehatan sekarang: keluhan apa yang sekarang dirasakan oleh pasien.<br />▪ Riwayat kesehatan dahulu: apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang sekarang dideritanya atau tidak, atau mungkin sebelumnya pernah menderita penyakit yang lain.<br />▪ Riwayat kesehatan keluarga: apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien.<br />▪ Pola istirahat dan tidur: bagaimana pola istirahat dan tidur pasien sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola nutrisi: bagaimana pola asupan nutrisi pasien baik kebutuhan makan dan kebutuhan cairan sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola eliminasi: bagaimana pola eliminasi alvi dan eliminasi urine pasien yang meliputi bagaimana volumenya, konsistensinya, dan kontinuitas eliminasi, baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ Pola hubungan dan peran: bagaimana peran pasien dalam hubungannya dengan keluarga dan orang lain baik sebelum dan saat masuk rumah sakit.<br />▪ <br />▪ Pemeriksaan fisik: pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.<br />▪ Pemriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada pasien.<br />2.2 Analisa data<br />Yaitu pengambilan data-data pasien yang telah ada yang diambil dari pengkajian dari pemeriksaan fisik dan pemerikasaan penunjang untuk dilakukan penentuan diagnose keperawatan beserta intervensinya yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien. <br />2.3 Diagnosa keperawatan<br />Ansietas berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening<br />2.4 Intervensi <br />▪ Mengkaji ukuran pembengkakan.<br />▪ Mengkaji karakteristik pembengkakan.<br />▪ Memberikan informasi kepada pasien.<br />▪ Membantu mengatur posisi pasien dengan memperhatikan daerah pembengkakan.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Jonhson,Marion;Maas,Maridean,Moorhead,Sue.2000.Nursing Outcomes Classification (NOC).Phiadelphia:Mosby.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-9824519721359505192010-01-06T18:42:00.000-08:002010-01-06T18:43:26.047-08:00ASKEP TRAUMA ABDOMENASKEP TRAUMA ABDOMEN<br />2.1.1 Pengertian <br />Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologi akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan monologi dan gangguan faal berbagai organ. <br /><br />2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi <br />1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).<br />Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.<br />2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).<br />Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) ( FKUI, 1995 ).<br /><br />2.1.3 Patofisiologi <br />Tusukan/tembakan : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt).<br />Trauma Abdomen :<br />a. Trauma tumpul abdomen<br />Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi cairan usus. <br />b. Trauma tembus abdomen <br />Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel. <br /><br />Trauma tumpul abdomen dan tembus abdomen menyebabkan :<br />• Kerusakan integritas kulit<br />• Syok dan pendarahan <br />• Kerusakan pertukaran gas <br />• Resiko tinggi terhadap infeksi <br />• Nyeri akut <br /> <br />2.1.4 Tanda dan Gejala <br />1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):<br />Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel. <br />2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium):<br />Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut, iritasi cairan usus (FKUI,1995).<br /><br />2.1.5 Komplikasi <br />Segera : hemoragi, syok, dan cedera<br />Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001)<br /><br />2.1.6 Pemeriksaan Diagnotik <br />Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing. <br />Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine. <br />Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.<br />IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing. <br />Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum fungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu. <br /><br />2.1.7 Penatalaksanaan <br />Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi. <br />Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (pendarahan).<br />Pembedahan / laparatomi ( untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut ) (FKUI, 1995).<br /><br />2.2 Asuhan Keperawatan <br />2.2.1 Pengkajian <br />Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh. Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :<br />1. Trauma tembus abdomen <br />Dapat riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan / tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan). <br />Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru. <br />Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehinggga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitonel ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).<br />Kaji pasien untuk progesi distensi abdomen, gerakan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok. <br />Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.<br />Catat semua tanda fisik selama pemeriksan pasien.<br /><br />2. Trauma tumpul abdomen <br />Dapat riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah) dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :<br />Metode cedera, waktu awitan gejala, lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderia ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan, waktu makan atau minum terakhir, kecenderungan perdarahan, penyakit dan medikasi terbaru, riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus, alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasien untuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan. (Keperawatan Mediakl Bedah : Brunner dan Suddarth, hal. 2476 – 2477).<br /><br />2.2.2 Penatalaksanaan <br />1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan sirkulasi) sesuai indikasi. <br />2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif. <br />a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf. <br />b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.<br />c) Gunting baju dari luka.<br />d) Hitung jumlah luka <br />e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar<br />3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma. <br />4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan. <br />a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendengan luka dada. <br />b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.<br />c) Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal. <br />d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.<br />5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi. <br />6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah kekeringan visera <br />a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut <br />b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.<br />7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine. <br />8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.<br />9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium. <br />10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.<br />a) Jahitan dilakukan disekeliling luka. <br />b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka. <br />c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.<br />11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.<br />12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).<br />13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria. <br /><br />2.2.3 Diagnosa Keperawatan <br />Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994). <br />Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :<br />1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.<br />2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit. <br />3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma / diskontinuitas jaringan. <br />4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. <br />5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan / tahanan.<br /><br />2.2.4 Intervensi dan Implementasi <br />Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).<br />Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). <br />Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :<br />1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.<br />Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai <br />Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.<br /> - Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br /> - Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. <br />R/: Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.<br />b) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka <br />R/: Mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi. <br />c) Pantau peningkatan suhu tubuh <br />R/: Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan. <br />d) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas. <br />R/: Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.<br />e) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. <br />R/: Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lannya. <br />f) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.<br />R/: Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.<br />g) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi <br />R/: Antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi. <br /><br />2. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit. <br />Tujuan : Infeksi tidak terjadi / terkontrol <br />Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus<br /> - Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.<br /> - Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.<br /><br />Intervensi dan Implementasi :<br />a) Pantau tanda-tanda vital <br />R/: Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutamabila suhu tubuh meningkat. <br />b) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.<br />R/: Mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.<br />c) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, darinase luka, dll. <br />R/: Untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial. <br />d) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit <br />R/: Penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi. <br />e) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik <br />R/: Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.<br /> <br />3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.<br />Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang <br />Kriteria hasil : - Nyeri berkurang atau hilang <br /> - Klien tampak tenang <br /> Intervensi dan Implementasi :<br />a) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.<br />R/: Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif <br /><br /><br />b) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi.<br />R/: Tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri <br />c) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri <br />R/: Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri <br />d) Observasi tanda-tanda vital <br />R/: Untuk mengetahui perkembangan klien <br />e) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik <br />R/: Merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.<br /><br />4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologi atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.<br />Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas <br />Kriteria hasil : - Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri. <br />- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu. <br />- Koordinasi otot, tulang dana nggota gerak lainnya baik.<br />Intervensi dan Implementasi :<br />a. Rencana periode istirahat yang cukup <br />R/: Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal. <br />b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap<br />R/: Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenagab namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini. <br />c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.<br />R/: Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali. <br />d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien <br />R/: Menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan. <br /> <br />5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih. <br />Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitasoptimal <br />Kriteria hasil : - Penampilan yang seimbang <br />- Melakukan pergerakan dan perpindahan <br />- Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik : <br />0 = mandiri penuh <br />1 = memerlukan alat bantu <br />2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.<br />3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu. <br />4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas. <br />Intervensi dan Implementasi :<br />a) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.<br />R/: Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi <br />b) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas <br />R/: Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidak mampuan ataukah ketidak mauan <br />c) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu <br />R/ : Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal <br />d) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif <br />R/: Mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot<br />e) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi <br />R/: Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan / meningkatkan mobilitas pasien. <br /><br />2.2.5 Evaluasi <br />Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). <br />Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :<br />1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai. <br />2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol <br />3. Nyeri dapat berkurang atau hilang<br />4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas <br />5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-60741678324090782722010-01-06T18:39:00.000-08:002010-01-06T18:41:59.361-08:00ASKEP GASTRITISASKEP GASTRITIS<br />2.1. Pengertian Gastritis<br />Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung (Medicastore, 2003).<br />Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung (Suyono, 2001). <br />David Ovedorf (2002) mendefinisikan gastritis sebagai inflamasi mukosa gaster akut atau kronik. <br />Pengertian yang lebih lengkap dari gastritis yaitu peradangan lokal atau menyebar pada mukosa lambung yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain (Reeves, 2002).<br />Gastritis merupakan proses inflamasi pada lapisn mukosa dan sub mukosa lambung yang dapat bersifat akut dan kronik difus atau local (Soeparman, 2001 : 127).<br />Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik difus dan lokal dan ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis superfisial akut dan gastritis atropi kronik (Brunner Suddarth, 2002 : 1062).<br />Gastritis atau lebih dikenal sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung.<br />Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh bakteri yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu Helicobacter pylori. Tetapi factor – factor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis.<br />Pada beberapa kasus, gastritis dapat menyebabkan terjadinya borok (ulcer) dan dapat meningkatkan resiko dari kanker lambung. Akan tetapi bagi banyak orang, gastritis bukanlah penyakit yang serius dan dapat segera membaik dengan pengobatan.<br />2.2. Klasifikasi Gastritis<br />Gastritis ada 2 kelompok yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Tetapi gastritis kronik bukan merupakan lanjutan dari gastritis akut, dan keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik juga masih dikelompokkan lagi dalam 2 tipe yaitu tipe A dan tipe B. <br />Dikatakan gastritis kronik tipe A jika mampu menghasilkan imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan penurunan mukosa. Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi produksi antibodi. Anemia pernisiosa berkembang pada proses ini. Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini dikaitkan dengan infeksi helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.<br />Gastritis dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :<br />1. Gastritis akut<br />Gastritis akut merupakan iritasi mukosa lambung yang sering diakibatkan karena diet yang tidak teratur. Dimana individu makan terlalu banyak atau terlalu cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau mengandung mikroorganisme penyebab. Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan biasanya jinak dan dapat sembuh dengan sendirinya, merupakan respon mukosa lambung terhadap berbagai iritasi lokal.<br />2. Gastritis Kronik<br />Merupakan iritasi lambung yang dapat disebakan oleh ulcus benigna atau maligna dari lambung atau lebih helicobacter pylori. Gastritis kronik dapat dikalsifikasikan sebagai tipe A (Gastritis Autoimun) (Brunner and Suddarth, 2002 : 1062) <br />2.3. Penyebab Gastritis<br />Lambung adalah sebuah kantung otot yang kosong, terletak pada bagian kiri atas perut tepat dibawah tulang iga. Lambung orang dewasa mempunyai panjang berkisar antara 10 inchi dan dapat mengembang untuk menampung makanan atau minuman sebanyak 1 gallon. Bila lambung dalam keadaan kosong, maka ia akan melipat, mirip seperti sebuah akordion. Ketika lambung mulai terisi dan mengembang, lipatan - lipatan tersebut secara bertahap membuka.<br />Lambung memproses dan menyimpan makanan dan secara bertahap melepaskannya ke dalam usus kecil. Ketika makanan masuk ke dalam esophagus, sebuah cincin otot yang berada pada sambungan antara esophagus dan lambung (esophageal sphincter) akan membuka dan membiarkan makanan masuk ke lambung. Setelah masuk ke lambung cincin in menutup. Dinding lambung terdiri dari lapisan lapisan otot yang kuat. Ketika makanan berada di lambung, dinding lambung akan mulai menghancurkan makanan tersebut. Pada saat yang sama, kelenjar - kelenjar yang berada di mukosa pada dinding lambung mulai mengeluarkan cairan lambung (termasuk enzim - enzim dan asam lambung) untuk lebih menghancurkan makanan tersebut.<br />Salah satu komponen cairan lambung adalah asam hidroklorida. Asam ini sangat korosif sehingga paku besi pun dapat larut dalam cairan ini. Dinding lambung dilindungi oleh mukosa - mukosa bicarbonate (sebuah lapisan penyangga yang mengeluarkan ion bicarbonate secara regular sehingga menyeimbangkan keasaman dalam lambung) sehingga terhindar dari sifat korosif asam hidroklorida.<br />Gastritis biasanya terjadi ketika mekanisme pelindung ini kewalahan dan mengakibatkan rusak dan meradangnya dinding lambung. Beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya gastritis antara lain :<br />• Infeksi bakteri. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri H. Pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi H. pylori sering terjadi pada masa kanak - kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi H. pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya peptic ulcer dan penyebab tersering terjadinya gastritis. Infeksi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan peradangan menyebar yang kemudian mengakibatkan perubahan pada lapisan pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan itu adalah atrophic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung secara perlahan rusak. Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat asam lambung yang rendah dapat mengakibatkan racun-racun yang dihasilkan oleh kanker tidak dapat dihancurkan atau dikeluarkan secara sempurna dari lambung sehingga meningkatkan resiko (tingkat bahaya) dari kanker lambung. Tapi sebagian besar orang yang terkena infeksi H. pylori kronis tidak mempunyai kanker dan tidak mempunyai gejala gastritis, hal ini mengindikasikan bahwa ada penyebab lain yang membuat sebagian orang rentan terhadap bakteri ini sedangkan yang lain tidak.<br />• Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer.<br />• Penggunaan alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.<br />• Penggunaan kokain. Kokain dapat merusak lambung dan menyebabkan pendarahan dan gastritis.<br />• Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung.<br />• Kelainan autoimmune. Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung, menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan menganggu produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-12). Kekurangan B-12, akhirnya, dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah konsisi serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmune atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua. <br />• Crohn's disease. Walaupun penyakit ini biasanya menyebabkan peradangan kronis pada dinding saluran cerna, namun kadang-kadang dapat juga menyebabkan peradangan pada dinding lambung. Ketika lambung terkena penyakit ini, gejala-gejala dari Crohn's disease (yaitu sakit perut dan diare dalam bentuk cairan) tampak lebih menyolok daripada gejala-gejala gastritis. <br />• Radiasi and kemoterapi. Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer. Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung.<br />• Penyakit bile reflux. Bile (empedu) adalah cairan yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve) akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan gastritis.<br />• Faktor-faktor lain. Gastritis sering juga dikaitkan dengan konsisi kesehatan lainnya seperti HIV/AIDS, infeksi oleh parasit, dan gagal hati atau ginjal.<br />Penyakit Ménétrier merupakan jenis gastritis yang penyebabnya tidak diketahui. Dinding lambung menjadi tebal, lipatannya melebar, kelenjarnya membesar dan memiliki kista yang terisi cairan. Sekitar 10% penderita penyakit ini menderita kanker lambung. Gastritis juga bisa terjadi jika seseorang menelan bahan korosif atau menerima terapi penyinaran kadar tinggi.<br />Dijelaskan secar ringkas oleh Hirlan tentang etiologi gstritis akut antara lain asam lambung yang sangat berlebihan, pepsin yang tinggi, obat analgetik dan inflamasi, refluks usus-lambung, minum alkohol, merokok, stres fisik misalnya karena luka bakar, sepsis dan trauma, serta bahan korosif asam dan basa kuat (misalnya lisol). Obat-obat analgesik dan antiinflamasi yang sering dikaitkan dengan gastritis adalah aspirin. Aspirin dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung.<br /><br /><br /><br /><br /><br />2.4. Tanda dan Gejala Gastritis<br />Gejalanya bermacam-macam, tergantung kepada jenis gastritisnya. Biasanya penderita gastritis mengalami gangguan pencernaan (indigesti) dan rasa tidak nyaman di perut sebelah atas. Pada gastritis karena stres akut, penyebabnya (misalnya penyakit berat, luka bakar atau cedera) biasanya menutupi gejala-gejala lambung; tetapi perut Sebelah atas terasa tidak enak. <br /><br />Segera setelah cedera, timbul memar kecil di dalam lapisan lambung. Dalam beberapa jam, memar ini bisa berubah menjadi ulkus. Ulkus dan gastritis bisa menghilang bila penderita sembuh dengan cepat dari cederanya. Bila penderita tetap sakit, ulkus bisa membesar dan mulai mengalami perdarahan, biasanya dalam waktu 2-5 hari setelah terjadinya cedera. Perdarahan menyebabkan tinja berwarna kehitaman seperti aspal, cairan lambung menjadi kemerahan dan jika sangat berat, tekanan darah bisa turun. Perdarahan bisa meluas dan berakibat fatal. Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimptomatis. Keluhan itu misalnya nyeri pada ulu hati yang biasanya ringan.<br />Gejala dari gastritis erosif kronis berupa mual ringan dan nyeri di perut sebelah atas. Tetapi banyak penderita (misalnya pemakai aspirin jangka panjang) tidak merasakan nyeri. Penderita lainnya merasakan gejala yang mirip ulkus, yaitu nyeri ketika perut kosong. Jika gastritis menyebabkan perdarahan dari ulkus lambung, gejalanya bisa berupa tinja berwarna kehitaman seperti aspal (melena), serta muntah darah (hematemesis) atau makanan yang sebagian sudah dicerna, yang menyerupai endapan kopi. Gejala lainnya dari gastritis kronik adalah anoreksia, mual-muntah, diare, sakit epigastrik dan demam. Perdarahan saluran cerna yang tak terasa sakit dapat terjadi setelah penggunaan aspirin.<br />Pada gastritis eosinofilik, nyeri perut dan muntah bisa disebabkan oleh penyempitan atau penyumbatan ujung saluran lambung yang menuju ke usus dua belas jari. Pada penyakit Méniére, gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri lambung. Hilangnya nafsu makan, mual, muntah dan penurunan berat badan, lebih jarang terjadi. Tidak pernah terjadi perdarahan lambung. Penimbunan cairan dan pembengkakan jaringan (edema) bisa disebabkan karena hilangnya protein dari lapisan lambung yang meradang. Protein yang hilang ini bercampur dengan isi lambung dan dibuang dari tubuh. <br />Gastritis yang terjadi tiba – tiba (akut) biasanya mempunyai gejala mual dan sakit pada perut bagian atas, sedangkan gastritis kronis yang berkembang secara bertahap biasanya mempunyai gejala seperti sakit yang ringan pada perut bagian atas dan terasa penuh atau kehilangan selera. Bagi sebagian orang, gastritis kronis tidak menyebabkan apapun.<br />Kadang, gastritis dapat menyebabkan pendarahan pada lambung, tapi hal ini jarang menjadi parah kecuali bila pada saat yang sama juga terjadi borok pada lambung. Pendarahan pada lambung dapat menyebabkan muntah darah atau terdapat darah pada feces dan memerlukan perawatan segera.<br />Karena gastritis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit pencernaan dengan gejala - gejala yang mirip antara satu dengan yang lainnya, menyebabkan penyakit ini mudah dianggap sebagai penyakit lainnya seperti :<br />Gastroenteritis. Juga disebut sebagai flu perut (stomach flu), yang biasanya terjadi akibat infeksi virus pada usus. Gejalanya meliputi diare, kram perut dan mual atau muntah, juga ketidaksanggupan untuk mencerna. Gejala dari gastroenteritis sering hilang dalam satu atau dua hari sedangkan untuk gastritis dapat terjadi terus menerus.<br />Heartburn. Rasa sakit seperti terbakar yang terasa di belakang tulang dada ini biasanya terjadi setelah makan. Hal ini terjadi karena asam lambung naik dan masuk ke dalam esophagus (saluran yang menghubungkan antara tenggorokan dan perut). Heartburn dapat juga menyebabkan rasa asam pada mulut dan terasa sensasi makanan yang sebagian sudah dicerna kembali ke mulut.<br />Stomach ulcers. Jika rasa perih dan panas dalam perut terjadi terus menerus dan parah, maka hal itu kemungkinan disebabkan karena adanya borok dalam lambung. Stomach (peptic) ulcer atau borok lambung adalah luka terbuka yang terjadi dalam lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang menjadi semakin parah ketika malam hari atau lambung sedang kosong. Gastritis dan stomach ulcers mempunyai beberapa penyebab yang sama, terutama infeksi H. pylori. Penyakit ini dapat mengakibatkan terjadinya gastritis dan begitu juga sebaliknya.<br />Nonulcer dyspepsia. Merupakan kelainan fungsional yang tidak terkait pada penyakit tertentu. Penyebab pasti keadaan ini tidak diketahui, tetapi stress dan terlalu banyak mengkonsumsi gorengan, makanan pedas atau makanan berlemak diduga dapat mengakibatkan keadaan ini. Gejalanya adalah sakit pada perut atas, kembung dan mual.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2.5 Patofisiologi Gastritis <br /><br />Bakteri endotoksin / H. Pylori<br /> Obat NSAID, alkohol, kafein, aspirin<br />Membran mukosa lambung menjadi edema dan hiperemik<br />(Kongesti dengan jaringan, cairan dan darah)<br /> <br />Erosi superfisial<br /> <br />sekresi getah lambung dengan sedikit asam dan banyak muncul<br /> <br />disekresi superfisial<br /> <br />perdarahan / haemorarrgi<br /><br /><br />Hematemesis<br /><br />Membran mukosa lambung di iritasi bakteri endoktosin, obat NSAID, alkoloh , kafein, aspirin menjadi edema dan mukosanya memerah dan hiperemik (kangesti dengan jaringan, cairan dan darah) dan akan mengalami erosi superficial. Bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung yang mengadung sangat sedikit asam tetapi banyak muncul, sehingga terjadi sekresi superfisial dan dapat menimbulkan haemoragi yang dimanifestasikan hemalemesis.<br />(Brunner and Suddart, 2002 : 1062)<br /><br />2.6 Kapan harus pergi ke dokter?<br />Hampir setiap orang pernah mengalami penyakit pencernaan dan iritasi lambung. Dalam banyak kasus, terjadi hanya sebentar dan tidak membutuhkan perawatan medis. Tapi jika terdapat gejala-gejala gastritis yang terjadi secara terus menerus selama seminggu atau lebih, segera temui dokter. Dan pastikan untuk menginformasikan semua yang anda rasakan terutama bila anda merasakan sakit setelah meminum obat-obat bebas seperti aspirin atau yang lainnya.<br />Jika terjadi muntah darah atau terdapat darah dalam feces, segera temui dokter untuk menemukan penyebabnya.<br />2.7 Screening dan diagnosa Gastritis<br />Bila seorang pasien didiagnosa terkena gastritis, biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui secara jelas penyebabnya. Pemeriksaan tersebut meliputi :<br />• Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis.<br />• Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak.<br />• Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feses atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada lambung.<br />• Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidaknormalan pada saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop.<br />• Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di ronsen. <br /><br /><br />2.8 Komplikasi Gastritis<br />Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan peptic ulcers dan pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan perubahan pada sel-sel di dinding lambung.<br />Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinomas, yang bermula pada sel-sel kelenjar dalam mukosa. Adenocarcinomas tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi H. pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat H. pylori adalah MALT (mucosa associated lymphoid tissue) lymphomas, kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan sistem kekebalan pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan pada tahap awal.<br />2.9 Terapi Gastritis<br />Terapi gastritis sangat bergantung pada penyebab spesifiknya dan mungkin memerlukan perubahan dalam gaya hidup, pengobatan atau, dalam kasus yang jarang, pembedahan untuk mengobatinya.<br />a. Terapi terhadap asam lambung<br />Asam lambung mengiritasi jaringan yang meradang dalam lambung dan menyebabkan sakit dan peradangan yang lebih parah. Itulah sebabnya, bagi sebagian besar tipe gastritis, terapinya melibatkan obat-obat yang mengurangi atau menetralkan asam lambung seperti :<br />• Anatsida. Antasida merupakan obat bebas yang dapat berbentuk cairan atau tablet dan merupakan obat yang umum dipakai untuk mengatasi gastritis ringan. Antasida menetralisir asam lambung dan dapat menghilangkan rasa sakit akibat asam lambung dengan cepat.<br />• Penghambat asam. Ketika antasida sudah tidak dapat lagi mengatasi rasa sakit tersebut, dokter kemungkinan akan merekomendasikan obat seperti cimetidin, ranitidin, nizatidin atau famotidin untuk mengurangi jumlah asam lambung yang diproduksi.<br />• Penghambat pompa proton. Cara yang lebih efektif untuk mengurangi asam lambung adalah dengan cara menutup “pompa” asam dalam sel-sel lambung penghasil asam. Penghambat pompa proton mengurangi asam dengan cara menutup kerja dari “pompa-pompa” ini. Yang termasuk obat golongan ini adalah omeprazole, lansoprazole, rabeprazole dan esomeprazole. Obat-obat golongan ini juga menghambat kerja H. pylori.<br />• Cytoprotective agents. Obat-obat golongan ini membantu untuk melindungi jaringan-jaringan yang melapisi lambung dan usus kecil. Yang termasuk ke dalamnya adalah sucraflate dan misoprostol. Jika meminum obat-obat AINS secara teratur (karena suatu sebab), dokter biasanya menganjurkan untuk meminum obat-obat golongan ini. Cytoprotective agents yang lainnya adalah bismuth subsalicylate yang juga menghambat aktivitas H. pylori.<br />b. Terapi terhadap H. pylori<br />Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.<br />Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.<br />Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif selama beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri tersebut sudah hilang.<br />2.10 Pencegahan Gastritis<br />Walaupun infeksi H. pylori tidak dapat selalu dicegah, berikut beberapa cara untuk dapat mengurangi resiko terkena gastritis :<br />• Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan santai.<br />• Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.<br />• Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat. Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk berhenti merokok.<br />• Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat. <br />• Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup.<br />Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan AINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen<br /><br />2.11 Diet Pada Gastritis<br /><br />Diet pada penderita gastritis adalah diet lambung. Prinsip diet pada penyakit lambung bersifat ad libitum, yang artinya adalah bahwa diet lambung dilaksanakan berdasarkan kehendak pasien. Prinsip diet diantaranya pasien dianjurkan untuk makan secara teratur, tidak terlalu kenyang dan tidak boleh berpuasa. Makanan yang dikonsumsi harus mengandung cukup kalori dan protein (TKTP) namun kandungan lemak/minyak, khususnya yang jenuh harus dikurangi. Makanan pada diet lambung harus mudah dicernakan dan mengandung serat makanan yang halus (soluble dietary fiber). Makanan tidak boleh mengandung bahan yang merangsang, menimbulkan gas, bersifat asam, mengandung minyak/ lemak secara berlebihan, dan yang bersifat melekat. Selain itu, makanan tidak boleh terlalu panas atau dingin.<br />Beberapa makanan yang berpotensi menyebabkan gastritis antara lain garam, alkohol, rokok, kafein yang dapat ditemukan dalam kopi, teh hitam, teh hijau, beberapa minuman ringan (soft drinks), dan coklat. Beberapa macam jenis obat juga dapat memicu terjadinya gastritis. Garam dapat mengiritasi lapisan lambung. Beberapa penelitian menduga bahwa makanan begaram meningkatkan resiko pertumbuhan infeksi Helicobacter pylori. Gastritis juga biasa terjadi pada alkoholik. Perokok berat dan mengkonsumsi alkohol berlebihan diketahui menyebabkan gastritis akut. Makanan yang diketahui sebagai iritan, korosif, makanan yang bersifat asam dan kopi juga dapat mengiritasi mukosa lambung.<br /><br />2.12 Asuhan Keperawatan Gastritis<br />1. Pengkajian<br />a. Faktor predisposisi dan presipitasi<br />Faktor predisposisi adalah bahan-bahan kimia, merokok, kafein, steroid, obat analgetik, anti inflamasi, cuka atau lada.<br />Faktor presipitasinya adalah kebiasaan mengkonsumsi alcohol dan rokok, penggunaan obat-obatan, pola makan dan diet yang tidak teratur, serta gaya hidup seperti kurang istirahat.<br /><br />b. Test dignostik<br />1. Endoskopi : akan tampak erosi multi yang sebagian biasanya berdarah dan letaknya tersebar.<br />2. Pemeriksaan Hispatologi : akan tampak kerusakan mukosa karena erosi tidak pernah melewati mukosa muskularis.<br />3. Pemeriksaan radiology.<br />4. Pemeriksaan laboratorium.<br />• Analisa gaster : untuk mengetahui tingkat sekresi HCL, sekresi HCL menurun pada klien dengan gastritis kronik.<br />• Kadar serum vitamin B12 : Nilai normalnya 200-1000 Pg/ml, kadar vitamin B12 yang rendah merupakan anemia megalostatik.<br />• Kadar hemagiobi, hematokrit, trombosit, leukosit dan albumin.<br />• Gastroscopy.<br />Untuk mengetahui permukaan mukosa (perubahan) mengidentifikasi area perdarahan dan mengambil jaringan untuk biopsi.<br /><br />2. Diagnosa keperawatan<br />Sesuai dengan literatur diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Gastritis adalah :<br />a. Resti gangguan keseimbangan volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.<br />b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, anorexia.<br />c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi mukosa lambung.<br />d. Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.<br />e. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.<br /><br />3. Perencanaan<br />Dx 1 Tujuan :<br />Resti gangguan keseimbangan cairan tidak terjadi.<br />Kriteria Hasil :<br />Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, elektrolit kembali normal, pengisian kapiler berwarna merah muda, tanda vital stabil, input dan output seimbang.<br /><br />INTERVENSI :<br />Kaji tanda dan gejala dehidrasi, observasi TTV, ukur intake dan out anjurkan klien untuk minum ± 1500-2500ml, observasi kulit dan membran mukosa, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan infus.<br /><br /><br />Dx 2 Tujuan :<br />Gangguan nutrisi teratasi.<br />Kriteria Hasil :<br />Berat badan stabil, nilai laboratorium Albumin normal, tidak mual dan muntah BB dalam batas normal, bising usus normal.<br /><br />INTERVENSI :<br />Kaji intake makanan, timbang BB secara teratur, berikan perawatan oral secara teratur, anjurkan klien makan sedikit tapi sering, berikan makanan dalam keadaan hangat, auskultasi bising usus, kaji makanan yang disukai, awasi pemeriksaan laboratorium misalnya :<br />Hb, Ht, Albumin.<br />Dx 3 Tujuan :<br />Nyeri dapat berkurang/hilang.<br />Kriteria Hasil :<br />Nyeri hilang/terkontrol, tampak rileks dan mampu tidur/istirahat, skala nyeri menunjukkan angka 0.<br /><br />INTERVENSI :<br />Kaji skala nyeri dan lokasi nyeri, observasi TTV, berikan lingkungan yang tenang dan nyaman, anjurkan tekhnik relaksasi dengan nafas dalam, lakukan kolaborasi dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi untuk mengurangi nyeri.<br /><br />Dx 4 Tujuan :<br />Keterbatasan aktifitas teratasi.<br />Kriteria Hasil :<br />K/u baik, klien tidak dibantu oleh keluarga dalam beraktifitas.<br /><br />INTERVENSI :<br />Tingkatkan tirah baring atau duduk, berikan lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung, dorong penggunaan tekhnik relaksasi, kaji nyeri tekan pada gaster, berikan obat sesuai dengan indikasi.<br /><br />Dx 5 Tujuan :<br />Kurang pengetahuan teratasi.<br />Kriteria Hasil :<br />Klien dapat menyebutkan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, perawatan, pencegahan dan pengobatan.<br /><br />INTERVENSI :<br />Kaji tingkat pengetahuan klien, beri pendidikan kesehatan (penyuluhan) tentang penyakit, beri kesempatan klien atau keluarga untuk bertanya, beritahu tentang pentingnya obat-obatan untuk kesembuhan klien.<br />C. Evaluasi<br />Evaluasi pada klien dengan Gastrtitis, yaitu :<br />a. Keseimbangan cairan dan elektrolit teratasi<br />b. Kebutuhan nutrisi teratasi<br />c. Gangguan rasa nyeri berkurang<br />d. Klien dapat melakukan aktifitas<br />e. Pengetahuan klien bertambah.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-91007766050279059802010-01-06T18:38:00.000-08:002010-01-06T18:39:41.725-08:00ASKEP HEPATOMAASKEP HEPATOMA<br /><br />2.2.1 Pengertian Hepatoma<br />Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan paling sering ditemukan daripada tumor ganas hati primer lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma.<br />Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati.<br />Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnyaadalah virus hepatitis B dan C.<br /><br />2.2.2. Faktor Penyebab Hepatoma<br />Belum diketahui penyebab penyakit ini secara pasti, tapi dari kajian epidemiologi dan biologi molekuler di Indonesia sudah terbukti bahwa penyakit ini berhubungan erat dengan sirrhosis hati, hepatitis virus B aktif ataupun hepatitis B carrier, dan hepatitis virus C dan semua mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berisiko tinggi untuk mendapatkan kanker hati ini.<br />Faktor lain yang diduga sebagai penyebab kanker hati ini adalah aflatoksinB1 yaitu racun yangdihasilkan oleh sejenis jamur Aspergillus flavus yang terkontaminasi dan melekat pada permukaan makanan seperti beras, kacang, gandum, jagung, dan kacang kedelai yang disimpan pada tempat yang panas dan lembab. AflatoksinB1 yang ikut masuk ke tubuh melalui makanan diperkirakan dapat memicu mutasi P53 gene di dalam sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati. <br />Bahan-bahan karsinogenik (penyebab kanker) tertentu juga menyebabkan hepatoma. Di daerah subtropis, dimana hepatoma banyak terjadi, makanan sering tercemar oleh bahan karsinogenik yang disebut aflatoksin, yang dihasilkan oleh sejenis jamur Bahan-bahan Hepatokarsinogenik SEPERTI:<br /> Aflatoksin<br /> Alkohol<br /> Penggunaan steroid anabolic<br /> Penggunaan androgen yang berlebihan<br /> Bahan kontrasepsi oral<br /> Penimbunan zat besi yang berlebihan dalam hati (Hemochromatosi)<br /><br />2.2.3. Gejala-Gejala Hepatoma<br />Hepatoma seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, malah banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa. <br />Keluhan utama yang sering adalah : <br />• Keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas <br />• Nafsu makan berkurang, <br />• Berat badan menurun, dan rasa lemas. <br />• Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain.<br />Jika gejala tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai bulan..Pemeriksaan Alfa Feto Protein(AFP) sangat berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit hepatoma ini Penggunaan ultrasonografi ( USG ), Computed Tomographic Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui ukuran tumor. <br />2.2.4. Deteksi Dini Hepatoma<br />Dengan perkembangan teknologi yang kian canggih dan kian maju pesat, maka berkembang pulalah cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95% dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%. <br />Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:<br />a. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. <br />b. AFP (Alphafetoprotein)yang meningkat lebih dari 500 mg per ml. <br />c. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS.<br />d. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS. <br />e. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS. <br />Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.<br />2.2.5 Patofisiologi Hepatoma<br />Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang disebabkan oleh alkoholik dan postnekrotik.<br />Pedoman diagnostik yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak.<br />Tumor hati yang paling sering adalah metastase tumor ganas dari tempat lain. Matastase ke hati dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Hal ini benar, khususnya untuk keganasan pada saluran pencernaan, tetapi banyak tumor lain juga memperlihatkan kecenderungan untuk bermestatase ke hati, misalnya kanker payudara, paru-paru, uterus, dan pankreas.<br />Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi. <br />2.2.6. Stadium Hepatoma<br />Stadium I : Satu fokal tumorberdiameter \ hati.<br />Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati. <br />Stadium III : Tumorpada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumordengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati. <br />Stadium IV :Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati. <br />- atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)<br />- atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)<br />- atau vena cava inferior-atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase)<br /><br />2.2.7. Pemeriksaan Laboratorium<br />Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% – 70%, artinya hanya pada 60% – 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% – 40% penderita nilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma.<br />A .BIOPSI<br />Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.<br />B .RADIOLOGI<br />Pesatnya kemajuan teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan dalam bidang radiologi baik peralatannya maupun teknologinya dan peningkatan keahlian dokter spesialis radiologi di bidangnya sehingga dengan demikianmenghantarkan radiologi berada di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan membuktikan pula dirinya berperan sangat penting untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan dalam pengobatannya. <br />Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.<br />Dengan peralatan radiologi yang baik dan ditangani oleh dokter spesialisradiologi yang berpengalaman sudah terjamin dapat mendeteksi tumor dengan diameter kurang dari 1 cm dan dapatlah menjawab semua pertanyaan seputar kanker ini antara lain berapa banyak nodule yang dijumpai, berapa segment hati yang terkena, bagaimana aliran darah ke kanker yang dilihat itu apakah sangat banyak (lebih ganas), apakah sedang (tidak begitu ganas) atau hanya sedikit (kurang ganas), yang penting lagi apakah ada sel tumor ganas ini yang sudah berada di dalam aliran darah vena porta, apakah sudah ada sirrhosis hati, dan apakah kanker ini sudah berpindah keluar dari hati (metastase) ke organ-organ tubuh lainnya. <br />Kesemua jawaban inilah yang menentukan stadium kankernya, apakah pasien ini menderita kanker hati stadium dini ataustadium lanjut dan juga menentukan tingkat keganasan kankernya sehingga dengan demikian dapatlah ditaksir prognosanya, penderita dapat disembuhkan sehingga bisa hidup lama atau sudah memang tak tertolong lagi dan tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi dari 6 bulan.<br /><br /><br />C . ULTRASONOGRAFI<br />Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. <br />Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kankernamun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru(neo-vascular). Neo-vascular merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk menghantarkan makanan dan oksigen ke kanker itu. Semakin banyak neo-vascular ini semakin ganas kankernya. Walaupun USG color yang sudah dapat memberikan warna dan mampu memperlihatkan pembuluh nodule tetapi belum dapat memastikan keberadaan neo-sehingga dengan demikian akurasi diagnostik hanya sedikit bertambah menjadiberkisar 60% – 70%. <br />Dengan pesatnya perkembangan Color Doppler Flow Imaging (CDFI) yaitu USG yang selain mampu melihat pembuluh darah di sekitar kanker juga mampu pula memperlihatkan kecepatan dan arah aliran darah di dalam pembuluh darah itu, sehingga dapat ditentukan resistensi index dan pulsatily index yang dengan demikian sudah dapat memastikan apakah pembuluh darah yang mengelilingi noduleitu adalah benar neo-vascularisasi dan berapa banyak . Dengan dapat dipastikan keberadaan neo-vascularisasi ini makameningkat jadi 80%. <br />Neo-vascularisasi yang baru masih bisa dilihat dengan cara diberikan suntikan zat kontras pada penderita sewaktu dilakukan pemeriksaan CDFI USG, zat kontras itu mampu menembus masuk ke dalam neo-vascularisas yang menyusup di nodule. Dengan demikian akurasi diagnosa meningkat menjadi 90% dari 1 cm. Dengan Color Doppler Flow Imaging USG ini juga memungkinkan kita melihat apakah ada portal vein tumor thrombosis yaitu sel-sel kanker (tumor thrombus) yang lepas dan masuk ke dalam vena Porta. <br />Penting sekali memastikan keberadaantumor thrombus di dalam vena porta ini karena thrombus ini dapat menyumbat aliran darah. Pada keadaan normal semua makanan yang telah dicernakan oleh usus akan dihantarkan ke hati tumor thrombus maka hati sehingga sel-sel hati akan mati (necrosis) secara perlahan tetapi pasti dan ini sangat membahayakan penderita karena dapat terjadi gagal hati (liver Tumor thrombus ini bisa ukurannya besar sehingga menutup kecil, dan hanya menutup sebahagian lumen USG ini sudah bisa diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan apa yang paling sesuai dan bermanfaat untuk penderita apakah akan dilakukan (reseksi hepatektomi partial) atau operasi membuang sebahagian hati (reseksi hepatektomi partial) atau tidak, apakah bisa di-embolisasi atau tidak ataukah hanya dilakukan infus kemoterapi intra-arterial saja. Tapi bila sudah jelas terdapat tumor thrombus di dalam vena porta dan sudah pula menyumbat vena ini, maka tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi hati (liver transplantation).<br />D . CT SCAN<br />Di samping USG diperlukan CT scannsebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann yang saat ini teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik hellical CTscann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CTscann sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.<br />E .ANGIOGRAFI<br />Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CTscann diperkirakan masih ada tindakan terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. <br />Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.<br />Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiographyyang dapatmemperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya.<br /><br /><br />F .MRI (Magnetic Resonance Imaging)<br />Bila CTscann mengunakan sinar X maka MRI ini menggunakan gelombang magnet tanpa adanya Sinar X. CT angiography menggunakan zat contrast yaitu zat yang diperlukan untuk melihat pembuluh darah. Tanpa zat ini pembuluh darah tak dapat dilihat. <br />Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CTscann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zat contrast sehingga pemeriksaan CTangiography tak memungkinkan padahal diperlukan gambar peta pembuluh darah. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic ResonanceAngiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati ini.11Sayangnya ongkos pemeriksaan dengan MRI dan MRA ini mahal, sehingga selaluCT scann yang merupakan pilihan pertama.<br />G .PET (Positron Emission Tomography)<br />Salah satu teknologi terkini peralatan kedokteran radiologi adalah Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. <br />Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).<br />Sayangnya alat ini terlalu mahal harganya sehingga biaya pemeriksaannya sangat tinggi dan tak terjangkau oleh banyak penderita kanker hati.<br />2.2.8. Pengobatan<br />Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bahagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap tindakan pengobatan terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung dengantindakan radiologi dan tindakan non-bedah dan tindakan transplantasi (pencangkokan) hati.<br />1.Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi <br />Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya. <br />Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.<br />Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.<br />Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. <br />Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh.<br />Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. <br />Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang biak. <br />Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.<br />2.TindakanNon-bedah Hati <br />Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut.. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah: <br />a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE) <br />Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.<br /><br /><br />b. Infus Sitostatika Intra-arterial <br />Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini .<br />Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien. <br />Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil).<br />Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.20<br />c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI) <br />Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-satunya. <br />Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm. <br />Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap. <br />Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.<br />d. Terapi Non-bedah Lanilla<br />Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya. <br />e. Tindakan Transplantasi Hati<br />Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. <br />Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. <br />Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima tahun.<br />2.2.9 KOMPLIKASI <br />Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematianPrognosis pasien dengan penyakit ini buruk.<br />2.2.10 Asuhan Keperawatan Hematoma<br />B. Konsep Dasar<br />1. Pengkajian <br />Gejala Klinik<br />Fase dini : Asimtomatik.<br />Fase lanjut :Tidak dikenal simtom yang patognomonik.<br />Keluhan berupa nyeri abdomen, kelemahan dan penurunan berat badan, anoreksia, rasa penuh setelah makan terkadang disertai muntah dan mual. Bila ada metastasis ke tulang penderita mengeluh nyeri tulang. <br />Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan :<br />1. Ascites<br />2. Ikterus<br />3. Hipoalbuminemia<br />4. Splenomegali, Spider nevi, Eritoma palmaris, Edema.<br /><br />Secara umum pengkajian Keperawatan pada klien dengan kasus kanker hati, meliputi :<br />1. Gangguan metabolisme<br />2. Perdarahan<br />3. Asites<br />4. Edema<br />5. Hipoproteinemia<br />6. Jaundice/icterus<br />7. Komplikasi endokrin<br />8. Aktivitas terganggu akibat pengobatan<br /><br />II.DIAGNOSA KEPERAWATAN<br /><br />1. tidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme vitamin di hati.<br /><br />TUJUAN :<br />1. Mendemontrasikan BB stabil, penembahan BB progresif kearah tujuan dgn normalisasi nilai laboratorium dan batas tanda-tanda malnutrisi <br />2. Penanggulangan pemahaman pengaruh individual pd masukan adekuat .<br /><br />INTERVENSI<br /><br />1. Pantau masukan makanan setiap hari, beri pasein buku harian tentang makanan sesuai indikasi<br />2. Dorong pasien utk makan deit tinggi kalori kaya protein dg masukan cairan adekuat. Dorong penggunaan suplemen dan makanan sering / lebih sedikit yg dibagi bagi selama sehari.<br />3. Berikan antiemetik pada jadwal reguler sebelum / selama dan setelah pemberian agent antineoplastik yang sesuai .<br /><br />RASIONAL :<br /><br />1. Keefektifan penilaian diet individual dalam penghilangan mual pascaterapi. Pasien harus mencoba untuk menemukan solusi/kombinasi terbaik.<br />2. Kebutuhan jaringan metabolek ditingkatkan begitu juga cairan ( untuk menghilangkan produksi sisa ). Suplemen dapat memainkan peranan penting dlm mempertahankan masukan kalori dan protein adekuat.<br />3. Mual/muntah paling menurunkan kemampuan dan efek samping psikologis kemoterapi yang menimbulkan stess.<br /><br /><br />B. Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut ( asites )<br /><br />TUJUAN<br />1. Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi nyeri.<br />2. Melaporkan penghilangan nyeri maksimal / kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS<br /><br />INTERVENSI<br /><br />1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi , frekwensi, durasi dan intensitas ( 0-10 ) dan tindakan penghilang rasa nyeri misalkan berikan posisi yang duduk tengkurap dengan dialas bantal pada daerah antara perut dan dada.<br />2. Berikan tindakan kenyamanan dasar misalnya reposisi, gosok punggung.<br />3. kaji tingkat nyeri / kontrol nilai <br /><br /><br />RASIONAL<br />1. memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan / keefektifan intervensi misalnya : nyeri adalahindividual yang digabungkan baik respons fisik dan emesional<br />2. meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian<br />3. kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS.<br /><br />A. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan <br /><br />TUJUAN :<br />1. dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan tubuh.<br /><br />INTERVENSI<br /><br />1. dorong pasein untuk melakukan apa saja bila mungkin, misalnya mandi, bangun dari kursi/ tempat tidur, berjalan. Tingkatkan aktivitas sesuai kemampuan.<br />2. pantau respon fisiologi terhadap aktivitas misalnya; perubahan pada TD/ frekuensi jantung / pernapasan.<br />3. beri oksigen sesuai indikasi<br /><br />RASIONAL<br /><br />1. meningkatkan kekuatan / stamina dan memampukan pasein menjadi lebih aktif tanpa kelelahan yang berarti.<br />2. teloransi sangat tergantung pada tahap proses penyakit, status nutrisi, keseimbnagan cairan dan reaksi terhadap aturan terapeutik.<br />3. adanya hifoksia menurunkan kesediaan O2 untuk ambilan seluler dan memperberat keletihan.<br /><br />D. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritus,edema dan asites<br />TUJUAN :<br />1. Mengedentifikasi fiksi intervensi yang tepat untuk kondisi kusus.<br />2. Berpartisipasi dalam tehnik untuk mencegah komplikasi / meningkatkan penyembuhan<br /><br />INTERVENSI<br />1. Kaji kulit terhadap efek samping terapi kanker. Perhatikan kerusakan atau perlambatan penyembuhan .<br />2. Mandikan dengan air hangat dan sabun<br />3. Dorong pasien untuk menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang kering dari pada menggaruk.<br />4. Balikkan / ubah posisi dengan sering<br />5. Anjurkan pasein untuk menghindari krim kulit apapun ,salep dan bedak kecuali seijin dokter<br /><br />RASIONAL<br />1. Efek kemerahan atau reaksi radiasi dapat terjadi dalam area radiasi dapat terjadi dalam area radiasi. Deskuamasi kering dan deskuamasi kering,ulserasi.<br />2. Mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit.<br />3. Membantu mencegah friksi atau trauma fisik.<br />4. Untuk meningkatkan sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit/ jaringan yang tidak perlu.<br />5. Dapat meningkatkan iritasi atau reaksi secara nyataskripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-49436442362168505072010-01-06T18:35:00.000-08:002010-01-06T18:37:20.966-08:00ASKEP SEROSIS HEPATISASKEP SEROSIS HEPATIS<br /><br />2.1.1 Pengertian Serosis Hepatis<br />Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, di ikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati <br />(Mansjoer Arief, 1999).<br /> Sirosis Hepatis adalah suatu penyakit hati dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan, menjadi tidak teratur dan terjadinya pertambahan jaringan (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Soeparman, 1987)<br /><br />2.1.2 Etiologi<br />Penyebab sirosis hati biasanya tidak dapat diketahui hanya berdasarkan pada klasifikasi morfologis hati yang mengalami sirosis. Dua penyebab yang sampai saat sekarang masih dianggap paling sering menyebabkan sirosis ialah hepatitis virus dan alkoholisme. Penyebab lain sirosis hati akan disebutkan secara singkat pada bab klasifikasi<br /><br />2.1.3. Klasifikasi Etiologis<br />1. Sirosis yang diakibatkan penyakit genetik <br />Dapat disebutkan disini misalnya galaktosemia, penyakit glycogen storage, defisiensi alfa-1 antitripsin, penyakit hemokromatosis, dan lain-lain.<br />2. Sirosis karena bahan kimia<br />Kerusakan karena bahan kimia ada 2 macam :<br />1) kerusakan yang hampir pasti terjadi oleh suatu macam obat, dose dependent.<br />2) Kerusakan yang tidak dapat di duga sebelumnya, not-dose dependent.<br />3. Sirosis alkoholik<br />Secara morfologis, sirosis alkoholik ini bisa mikronodular, makronodular atau campuran<br />4. Sirosis karena infeksi<br />Disebabkan oleh hepatitis virus B atau NANB.Morfologis bisa berupa mikronodular, makronodular atau incomplete septal<br />5. Sirosis karena gangguan nutrisi<br />Secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan sirosis karena alkohol<br />6. Sirosis bilier sekunder<br />Diakibatkan oleh ikterus obstruktif<br />7. Sirosis kongestif<br />Pada penyakit jantung yang disertai bendungan<br />8. Sirosis kriptogenik<br />Etiologi sirosis tidak dapat ditentukan. Sering disertai manifestasi autoimun, seperti demam, artralgi, kemerahan pada kulit, gejala ginjal dan lain-lain. Gambaran morfologis bisa mikronodular, makronodular atau campuran<br />9. Sirosis bilier primer<br />Penyebab tidak diketahui<br />10. Sirosis Indian Childhood<br />Ditemukan pada anak-anak di India<br />11. Sirosis sarkoid (granulomatosis)<br />Penyebab tidak diketahui<br /><br />2.1.4. Patofisiologis Serosis Hepatis<br />1. Proses Sirosis Hepatis Karena Virus<br />Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus, mulai dari hepatitis virus menjadi sirosi hati belum jelas. Ada 2 kemungkinan patogenesis, yaitu : (1) mekanis, (2) imunologis atau (3) kombinasi keduanya. Pada setiap teori, yang penting harus terjadi proses aktivasi fibroblas dan pembentukan komponen jaringan ikat.<br /><br />a. Teori Mekanis<br />Teori mekanis menerangkan proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati dengan mengemukakan bahwa pada daerah dimana terjadi nekrosis confluent, maka kerangka retikulum lobul yang mengalami collaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dengan perkataan lain, proses kolagenesis kerangka retikulum fibrosis hati diduga merupakan dasar proses sirosis. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup, berkembang menjadi nodul regenerasi.<br />Istilah yang dipakai untuk sirosis hati jenis ini ialah jenis pasca nekrotik. Istilah ini menunjukkan bahwa nekrosis sel hati yang terjadi merupakan penyebab sirosis. <br />Thaler menegaskan bahwa dalam patogenesis sirosis pasca hepatitis memperlihatkan bahwa regenerasi parenkim hati sesudah serangan hepatitis virus dan kelangsungan hidup hepatosit sekitar hepatic venule merupakan hal yang sangat esensial. Jika hepatosit di daerah tersebut mengalami kerusakan, maka daerah ini akan menjadi terpecah-pecah (fragmented), sehingga terjadi kerusakan yang sifatnya confluent dan akhirnya pseudolobulasi berkembang.<br /><br />b. Teori Imunologis<br />Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang menjadi sirosis hati, namun nampaknya proses tersebut harus melalui tingkat hepatitis kronik (agresif terlebih dahulu). Kelompok hepatitis kronik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kronik persisten dan kronik aktif. Kelompok yaitu kronik persisten pada umumnya akan membaik. Sebaliknya sebagian penderita hepatitis kronik agresif, akan berkembang menjadi fibrosis dan kemudian sirosis. Tanda yang kira-kira dapat dipakai ialah jika pada biopsi hati ditemukan tanda-tanda nekrosis bridging. Mekanisme imunologis agaknya mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronik. Ada 2 bentuk hepatitis kronik : 1) Hepatitis kronik tipe B, 2) Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB.<br />Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati. Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsi hati berulang-ulang pada penderita hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa berlangsung sangat lama, bisa lebih dari 10 tahun.<br /><br />2. Proses Sirosis Hepatis Karena Alkohol<br />Sirosis alkohol juga, disebut “Sirosis Laennec“, terjadi setelah penyalahgunaan alkohol bertahun-tahun. Produk akhir pencernaan yang dihasilkan dihati pada seorang pecandu alkohol, bersifat toksik terhadap hepatosit. Nutrisi yang buruk, yang sering dijumpai pada pecandu alkohol, juga berperan menyebabkan kerusakan hati, mungkin dengan merangsang hati secara berlebihan untuk melakukan Glokuneogenesis atau metabolisme protein. Sirosis alkohol ini memiliki 3 stadium, yaitu : <br />• PENYAKIT PERLEMAKAN HATI adalah stadium pertama. Kelainan ini bersifat reversibel dan ditandai oleh penimbunan Trigliserida di hepatosit. Alkohol dapat menyebabkan penimbunan Trigliserida di hati dengan bekerja sebagai bahan bakar untuk pembentukan energi sehingga asam lemak tidak lagi diperlukan. Produk-produk akhir alkohol, terutama Asetaldehida, juga mengganggu fosfolarisasi oksidatif asam-asam lemak oleh mitokondria hepatosit, sehingga asam-asam lemak tersebut terperangkap di dalam hepatosit. Infiltrasi oleh lemak bersifat refersibel apabila ingesti alkohol dihentikan.<br />• HEPATITIS ALKOHOL adalah stadium kedua sirosis alkohol. Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati. Pada para pecandu alkohol, peradangan sebagian sel dan nekrosis yang diakibatkannya biasanya timbul setelah minum alkohol dalam jumlah besar, (kemungkinan timbulnya hepatitis alkoholik kecil sekali pada penderita yang minum kurang dari 60 gram etanol sehari (6 oz whisky atau ¾ liter anggur) atau jika etanol kuarang dari 20% kalori per hari). Lebih dari 80% kasus dengan hepatitis alkoholik terjadi setelah minum alkohol selama 5 tahun lebih sebelum timbul gejala dan keluhan.<br />Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh toksisitas produk-produk akhir metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan ion hidrogen. Stadium ini juga dapat reversibel apabila ingesti alkohol dihentikan.<br />• SIROSIS itu sendiri adalah stadium akhir sirosis alkohol dan bersifat ireversibel. Pada stadium ini, sel-sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Peradangan kronik menyebabkan timbulnya pembengkakan dan edema intertisium yang dapat menyebabkan kolapsnya pembuluh-pembuluh darah kecil dan meningkatkan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, akibat respon peradangan terbentuk pita-pita fibrosa yang melingkari dan melilit hepatosit-hepatosit yang masih ada. Terjadi hipertensi portal dan acites. Biasanya timbul varises oesofagus, rektum dan abdomen serta ikterus hepatoselular. Resistensi terhadap aliran darah yang melintasi hati meningkat secara progresif dan funsi hati semakin memburuk.<br /><br />2.1.5 Manifestasi Klinis<br />Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.<br />Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).<br />Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.<br />Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.<br />Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.<br />Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.<br />Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.<br />Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.<br />Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.<br /><br />2.1.6. Tanda Dan Gejala Serosis Hepatis<br />Gejala terjadi akibat perubahan morfologis dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut:<br />• Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare<br />• Demam, berat badan turun, lekas lelah<br />• Acites, hidrothorak dan edema<br />• Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atu kecoklatan<br />• Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinisdidapati adanya demam, iktrus, dan acites, dimana demam bukan oleh sebab-sebab lain, dikatan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.<br />• Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan thoraks, kaput medusa, wasir dan varises oesofagus<br />• Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiper estrogenisme, yaitu :<br />a. Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilanya rambut axila dan pubis.<br />b. Amenore, hiperpigmentasi areola mammae<br />c. Spider nevi dan eritema<br />d. Hiperpigmentasi<br />2.1.7. Pemeriksaan Penunjang<br />a. Pemeriksaan fungsi hepar abnormal :<br />Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumin serum, peninggian kadar globulin serum, peninggian kadar bilirubin direk dan indirek), penurunan enzim kolinesterse, serta peninggian SGOT dan SGPT.<br />• Peningkatan bilirubin serum (disebabkan oleh kerusakan metabolisme bilirubin)<br />• Peningkatan kadar amonia darah (akibat dari kerusakan metabolisme protein)<br />• Peningkatan alkalin fosfat serum, ALT dan AST (akibat dari destruksi jaringan hepar)<br />b.Pemeriksaan Penunjang Lainnya :<br />1. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hepertensi portal.<br />2. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal. Akelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan kemungkinan terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda tersebut, dapat dievaluasi besar dan panjang varises serta kemungkinan terjadi perdarahan yang lebih besar.<br />3. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Diperlukan pengalaman seorang sonografis karena banyak faktor subyektif. Yang dilihat pinggir hati, pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu/HBD, daerah hipo atau hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion0. Sonografi bisa mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium dekompensata, hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran empedu, dll.<br />4. Sidikan hati : radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil oleh parenkim hati, sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihatbesar dan bentuk hati, limpa, kelainan tumor hati, kista, filling defek. Pada sirosis hati dan kelainan difus parenkim terlihat pengambilan radionukleid secara bertumpuk-tumpu (patchty) dan difus.<br />5. Tomografi komputerisasi : walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis kelainan fokal, seperti tumor atau kista hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan homogenitas hati.<br />6. E R C P : digunakan untuk menyingkirkan adanya obstruksi ekstrahepatik.<br />Angiografi : angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama pengukuran tekanan vena porta. Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna untuk melihat keadaan sirkulasi portal sebelum operasi pintas dan mendeteksi tumopr atau kista.<br />Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat, dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase.<br /><br />2.1.8. Komplikasi Serosis Hepatis<br />Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :<br />1. Kegagalan hati (hepatoseluler) ; timbul spider nevi, eritema palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.<br />2. Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esofagus/cardia, caput medusae, hemoroid, vena kolateral dinding perut.<br />Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :<br />• Asites<br />• Ensefalopati<br />• Peritonitis bakterial spontan<br />• Sindrom hepatorenal<br />• Transformasi ke arah kanker hati primer (hepatoma)<br />Disamping komplikasi diatas komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:<br />1. Perdarahan Gastrointestinal<br /> Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.<br />2. Koma hepatikum<br /> Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.<br />Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.<br />3. Ulkus peptikum<br /> Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.<br />4. Karsinoma hepatoselular<br /> SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.<br />5. Infeksi<br /> Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.<br /><br />2.1.9. Pengobatan dari Serosis Hepatis<br />Terapi & prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.<br />1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet TKTP, lemak secukupnya. Bila timbul ensefalopati, protein dikurangi.<br />2. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti :<br />• Alkohol & obat-obat lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh.<br />• Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan venaseksi 2x seminggu sebanyak 500 cc selama setahun.<br />• Pada penyakit wilson (penyakit metabolik yang diturunkan), diberikan D-penicilamine 20 mg/kgBB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urin.<br />• Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid<br /><br />Pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul<br />a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hr dan total cairan 1,5 l/hr. Spirolakton dimulai dengan dosis awal 4×25 mg/hr dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari,bila perlu dikombinasi dengan furosemid.<br />b. Perdarahan varises esofagus. Psien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna.Pertama melakukan pemasangan NG tube, disamping melakukan aspirasi cairan lambung.Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/mnt atau Hb ,9 g% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dekstrosa/salin dan transfusi darah secukupnya.Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam dapat dulang 3 kali.Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises.Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises.Operasi pintas dilakukan pada Child AB atau dilakukan transeksi esofagus (operasi Tanners).Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe.Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapatdiberikan propanolol.<br />c. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan transplantasi hati dengan menggunakan bahan cadaveric liver.<br />d. Terapi yang diberikan berupa antibiotik seperti sefotaksim 2 g/8 jam i.v. amokisilin, aminoglikosida.<br />e. Sindrom haptorenal/nefropati hepatik, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi dengan pemberian antiobiotik, dicoba melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena kava, sehingga timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi ginjal.<br /><br />2.1.10 Penatalaksanaan Umum<br />Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, acites dan demam.<br />Diet rendah protein (diet hati III : protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2000 kalori). Bila ada acites diberikan rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari). Bila ada tanda-tanda pre koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati I) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.<br />Mengatasi infeksi dengan antibiotik. Diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik.<br />Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dan glukosa<br />Roboransia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.<br />2.1.11 Konsep Asuhan Keperawatan Serosis Hepatis<br />A. Data Fokus<br />1) Data Subyektif<br />a. Keluhan perut tidak enak, mual dan nafsu makan menurun.<br />b. Mengeluh cepat lelah.<br />c. Mengeluh sesak nafas<br />2) Data Obyektif<br />a. Penurunan berat badan<br />b. Ikterus.<br />c. Spider naevi.<br />d. Anemia.Air kencing berwarna gelap.<br />e. Kadang-kadang hati teraba keras.<br />f. Kadar cholesterol rendah, albumin rendah.<br />g. Hematemesis dan melena.<br /><br />b. Diagnosa Keperawatan<br />Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:<br />1. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.<br />2. Intolerans aktifitas b/d kelemahan otot.<br />3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d hipertensi portal.<br />4. Gangguan perfusi jaringan b/d hematemesis dan melena.<br />5. Cemas b/d hematemesis dan melena.<br />6. Gangguan pola nafas b/d ekspansi paru menurun<br />7. Kerusakan komunikasi verbal b/d gangguan persarafan bicara.<br />8. Resiko tinggi cedera b/d gerakan yang tidak terkontrol.<br />9. Kerusakan mobilitas fisik b/d efek kekakuan otot.<br />10. Defisit perawatan diri b/d keadaan koma.<br /><br />c. Rencana Tindakan<br />1) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.<br />Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi.<br />Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan nafsu makan.<br />Rencana tindakan :<br />Intervensi<br />1. Diskusikan tentang pentingnya nutrisi bagi klien.<br />2. Anjurkan makan sedikit tapi sering.<br />3. Batasi cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan.<br />4. Pertahankan kebersihan mulut.<br />5. Batasi makanan dan cairan yang tinggi lemak.<br />6. pantau intake sesuai dengan diet yang telah disediakan.<br />Rasional<br />Nutrisi yang baik dapat mempercepat proses penyembuhan.<br />Peningkatan tekanan intra abdominal akibat asites menekan saluran GI dan menurunkan kapasitasnya.<br />Cairan dapat menurunkan nafsu makan dan masukan.<br />Akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah bau dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.<br />Kerusakan aliran empedu mengakibatkan malabsorbsi lemak.<br />Untuk mencukupi nutrisi intake harus adekuat.<br /><br />2) Intolerans aktifitas b/d kelemahan otot.<br />Tujuan : Klien dapat beraktifitas sesuai dengan batas toleransi.<br />Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas.<br />Rencana tindakan :<br />Intervensi<br />1. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas contoh: apakah tekanan darah stabil, perhatian terhadap aktifitas dan perawatan diri.<br />2. jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas contoh: posisi duduk di tempat tidur, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.<br />3. Berikan bantuan sesuai dengan kebutuhan (makan, minum, mandi, berpakaian dan eleminasi).<br />Rasional<br />Stabilitas fisiologis penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.<br />Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.<br />Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-10157095595357424222009-12-20T20:10:00.000-08:002009-12-20T20:11:32.149-08:00ASKEP TUMOR OTAKASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR OTAK<br /><br />1. Pengertian<br /> Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak.<br /><br />2. Etiologi<br />a. Riwayat trauma kepala<br />b. Faktor genetik<br />c. Paparan bahan kimia yang bersifat carsinogenik<br />d. Virus tertentu<br /><br />3. Patofisiologi<br />Tumor otak terjadi karena adanya proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal secara sangat cepat pada daerah central nervous system (CNS). Sel ini akan terus berkembang mendesak jaringan otak yang sehat di sekitarnya, mengakibatkan terjadi gangguan neurologis (gangguan fokal akibat tumor dan peningkatan tekanan intrakranial).<br /><br />4. Klasifikasi<br />a. Berdasarkan jenis tumor<br />1) Jinak<br />- Acoustic neuroma<br />- Meningioma<br />- Pituitary adenoma<br />- Astrocytoma (grade I)<br /><br />2) Malignant<br />- Astrocytoma (grade 2,3,4)<br />- Oligodendroglioma<br />- Apendymoma<br /><br />b. Berdasarkan lokasi<br />1) Tumor intradural<br />a) Ekstramedular<br />- Cleurofibroma<br />- Meningioma<br /><br />b) Intramedular<br />- Apendymoma<br />- Astrocytoma<br />- Oligodendroglioma<br />- Hemangioblastoma<br /><br /><br />2) Tumor ekstradural<br />Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal, tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung.<br /><br /><br />5. Manifestasi Klinis<br />a. Nyeri kepala<br />Nyeri bersifat dalam, terus – menerus, tumpul dan kadang – kadang bersifat hebat sekali. Biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat beraktifitas, yang biasanya menyebabkan peningkatan TIK yaitu batuk, membungkuk dan mengejan.<br />b. Nausea dan muntah<br />Akibat rangsangan pada medula oblongata<br />c. Papiledema<br />Stasis vena menimbulkan pembengkakan papila saraf optikus.<br /><br /><br /> KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN<br />1. Pengkajian<br />a. Identifikasi faktor resiko paparan dengan radiasi atau bahan – bahan kimia yang bersifat carcinogenik.<br />b. Identifikasi tanda dan gejala yang dialami: sakit kepala, muntah dan penurunan penglihatan atau penglihatan double.<br />c. Identifikasi adanya perubahan perilaku klien.<br />d.Observasi adanya hemiparase atau hemiplegi.<br />e. Perubahan pada sensasi: hyperesthesia, paresthesia.<br />f. Observasi adanya perubahan sensori: asteregnosis (tidak mampu merasakan benda tajam), agnosia (tidak mampu mengenal objek pada umumnya), apraxia (tidak mampu menggunakan alat dengan baik), agraphia (tidak mampu menulis).<br />g. Observasi tingkat kesadran dan tanda vital.<br />h. Observasi keadaan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />i. Psikososial: perubahan kepribadian dan perilaku, kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.<br /><br />j. Laboratorium:<br />1) Jika tidak ada kontraindikasi: lumbal puncti.<br />2) Fungsi endokrin<br /><br />k. Radiografi:<br />1) CT scan.<br />2) Electroencephalogram<br />3) Rontgen paru dan organ lain umtuk mencari adanya metastase.<br /><br /><br />2. Diagnosa Keperawatan<br />a. Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.<br /><br />b. Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.<br /><br />c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan mengenal informasi.<br /><br /><br />3. Rencana Tindakan Keperawatan<br />- Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.<br />Data penunjang: peruabahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon sensorik/motorik, gelisah, perubahan tanda vital.<br /><br />Kriteria hasil: Tingkat kesadaran stabil atau ada perbaikan, tidak adan tanda – tanda peningaktan TIK.<br /><br />Intervensi & Rasional<br />1. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar.<br /><br />R/ Mengkaji adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan okasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.<br /><br />2. Pantau tanda vital tiap 4 jam.<br /><br />R/ Normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah ke otak yang stabil. Kehilanagn autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal dan menyeluruh.<br /><br />3. Pertahankan posisi netral atau posisi tengah, tinggikan kepala 200-300.<br /><br />R/ Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.<br /><br />4. Pantau ketat pemasukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan keadaan membran mukosa.<br /><br />R/ Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.<br /><br />5. Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah, pengeluaran feses yang dipaksakan/mengejan.<br /><br />R/ Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intra toraks dan intra abdomen yang dapat meningkatkan TIK.<br /><br />6. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.<br /><br />R/ Petunjuk non verbal ini mengindikasikan adanya penekanan TIK atau menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.<br /><br /><br />- Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.<br />Data penunjang: klien mengatakan nyeri, pucat pada wajah, gelisah, perilaku tidak terarah/hati – hati, insomnia, perubahan pola tidur.<br /><br />Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, klien menunjukkan perilaku untuk mengurangi kekambuhan.<br /><br />Intervensi & Rasional<br />1. Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk dan meredakan.<br /><br />R/ Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.<br /><br />2. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah, menangis/meringis, perubahan tanda vital.<br /><br />R/ Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.<br /><br />3. Instruksikan pasien/keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri timbul.<br /><br />R/ Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat mengurangi beratnya serangan.<br /><br />4. Berikan kompres dingin pada kepala.<br /><br />R/ Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.<br /><br /><br />- Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan mengenal informasi.<br />Data penunjang: Klien dan keluarga meminta informasi, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku yang tidak tepat.<br /><br />Kriteria hasil: Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan pengobatan, memulai perubahan perilaku yang tepat.<br /><br />Intervensi & Rasional <br />1. Diskusikan etiologi individual dari sakit kepala bila diketahui.<br /><br />R/ Mempengaruhi pemilihan terhadap penanganan dan berkembnag ke arah proses penyembuhan.<br /><br />2. Bantu pasien dalam mengidentifikasikan kemungkinan faktor predisposisi.<br /><br />R/ Menghindari/membatasi faktor-faktor yang sering kali dapat mencegah berulangnya serangan.<br /><br />3. Diskusikan mengenai pentingnya posisi/letak tubuh yang normal.<br /><br />R/ Menurunkan regangan pada otot daerah leher dan lengan dan dapat menghilangkan ketegangan dari tubuh dengan sangat berarti.<br /><br />4. Diskusikan tentang obat dan efek sampingnya.<br /><br />R/ Pasien mungkin menjadi sangat ketergantungan terhadap obat dan tidak mengenali bentuk terapi yang lain.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-44279219905604177382009-12-20T20:09:00.000-08:002009-12-20T20:10:16.666-08:00ASKEP GBSASKEP KLIEN DENGAN GBS<br /><br />A. Definisi <br />Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.<br />B. Etiologi <br />Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :<br />a. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya<br />b. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)<br />c. Vaksin : rabies, swine flu<br />d. Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni<br />e. Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma<br />Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.<br />Pada dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.<br />C. Insiden <br />GBS tersebar diseluruh dunia terutama di Negara – Negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki – laki daripada perempuan.<br />Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi . Akhir – akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain.<br />Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu :<br />1. Guillain barre syndrome (GBS)<br />Fase progresif sampai 4 minggu<br />2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP)<br />• Fase progresif dari 4-8 minggu<br />• Gejala klinis :<br />a. Terutama motorik<br />b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas<br />• Neurofisiologi : demyelinisasi<br />• Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag<br />3. Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)<br />• Fase progresif > 12 minggu<br />• Dibagi dalam 2 bentuk<br />a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)<br />b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance) <br /> <br />D. Patofisiologi <br />Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.<br />Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.<br />Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. <br /> <br /><br /><br />E. Komplikasi<br />1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic<br />2. Tetraparese oleh karena penyebab lain<br />3. Hipokalemia<br />4. Miastenia Gravis<br />5. adhoc commite of GBS<br />6. Tick Paralysis<br />7. Kelumpuhan otot pernafasan<br />8. Dekubitus<br />F. Penatalaksanaan<br />1. Perawatan umum<br /> Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)<br /> Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke <br /> <br />ASUHAN KEPERAWATAN <br />1. Pengkajian <br /> Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status<br /> Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan<br /> Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.<br />2. Pemeriksaan Fisik <br /> B1 (Breathing) <br />Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.<br /> B2 (Bleeding) <br />Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.<br /> B3 (Brain) <br />Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.<br /> B4 (Bladder) <br />Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.<br /> B5 ( Bowel) <br />Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.<br /> B6 (Bone) <br />Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.<br />3. Diagnosa keperawatan <br /> 1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas<br /> 2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas<br /> 3. Ketidakefektifan pola nafas<br /> 4. Ggn komunikasi verbal<br /> 5. Resiko tinggi terjadi infeksi <br /> 6. Resiko terjadi trauma<br /> 7. Resiko terjadi disuse syndrome<br /> 8. Kecemasan pada orang tua<br /> <br />4. Rencana keperawatan <br /> <br />Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva<br />Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi<br />Tindakan:<br />- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam<br />- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction<br />- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %<br />- Monitor status hidrasi<br />- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan<br />- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab<br /> <br />Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru<br />Tujuan : Setelah dirawat<br />- BGA dalam batas normal<br />- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+<br />- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %<br /> <br />Tindakan:<br />- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam<br />- Monitor SpO2 setiap jam<br />- Monitor respirasi dan cyanosis<br />- Kolaborasi :<br />• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2<br />• Analisa hasil BGA<br /> <br />Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus<br />Tujuan : setelah dirawat diharapkan<br />- Tanda-tanda infeksi (-)<br />• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), <br />• Suhu tubuh 36,5-37 oC<br />• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)<br /> Tindakan :<br />- Rawat ETT setiap hari<br />-Lakukan prinsip steril pada saat suction<br />- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari<br />- Ganti kateter setiap 72 jam<br />- Kolaborasi :<br />• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi<br />• Penggantian insersi surflo dengan vanocath<br />• Pemeriksaan leuko<br />• Pemeriksaan albumin<br />• Lab UL<br />• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg<br /><br />Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS<br />Tujuan : Setelah dirawat<br />-Kontraktur (-)<br />- Nutrisi terpenuhi<br />- Bab dan bak terbantu<br />- Personal hygiene baik<br />Tindakan:<br />- Bantu Bab dab Bak<br />- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam<br />- Mandikan klien setiap hari<br />- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam<br />- Berikan latihan pasif 2 kali sehari<br />- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik<br />- Monitor status neurologi setiap 8 jam<br />- Kolaborasi:<br />• Alinamin F 3 X 1 ampul<br />• Sonde pediasuer 6 X 50 cc<br />• Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis<br /> <br />Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama<br />Tujuan :<br />- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan<br /> Tindakan :<br />- He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.<br />- He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath<br />- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugasskripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-52416993952588498672009-12-20T20:07:00.000-08:002009-12-20T20:08:26.526-08:00ASKEP EPILEPSIASKEP KLIEN DENGAN EPILEPSI<br /><br />TINJAUAN TEORI<br />A. Pengertian <br />Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)<br />Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)<br />Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)<br />B. Etiologi <br />Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:<br />1. Trauma lahir, <br />2. Asphyxia neonatorum <br />3. Cedera Kepala,<br />4. Infeksi sistem syaraf <br />5. Keracunan CO,<br />6. Intoksikasi obat/alkohol <br />7. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) <br />8. Tumor Otak <br />9. Kelainan pembuluh darah <br />(Tarwoto, 2007)<br />C. Patofisiologi<br /> Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.<br /><br /><br />D. Manifestasi klinik<br />1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan <br />2. Kelainan gambaran EEG <br />3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen <br />4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) <br />E. Klasifikasi kejang<br />1. Kejang Parsial <br />• Parsial Sederhana <br />Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran Misal: hanya satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak Dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman<br />• Parsial Kompleks <br />Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat<br />2. Kejang Umum (grandmal) <br />Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri dari:<br />1. Kejang Tonik-Klonik <br />2. Kejang Tonik <br />3. Kejang Klonik <br />4. Kejang Atonik <br />5. Kejang Myoklonik <br />6. Spasme kelumpuhan <br />7. Tidak ada kejang <br />8. Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap. <br />F.Pemeriksaan diagnostik<br />1. CT Scan <br />Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral<br />2. Elektroensefalogram(EEG) <br />Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan<br />3. Magnetik resonance imaging (MRI) <br />4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. <br />G. Penatalaksanaan<br />1. Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang <br />2. Farmakoterapi <br />Anti kovulsion untuk mengontrol kejang<br />3. Pembedahan <br />Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler<br />4. Jenis obat yang sering digunakan <br />1. Phenobarbital (luminal). <br />Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.<br />2. Primidone (mysolin) <br />Di hepar primidone diubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.<br />3. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin). <br />• Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis. <br />• Tak berhasiat terhadap petit mal. <br />• Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah. <br />4. Carbamazine (tegretol). <br />• Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. <br />• Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku. <br />• Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguanfungsi hati. <br />5. Diazepam. <br />• Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). <br />• Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal. <br />6. Nitrazepam (Inogadon). <br />Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.<br />7. Ethosuximide (zarontine). <br />Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal<br />8. Na-valproat (dopakene) <br />• Obat pilihan kedua pada petit mal <br />• Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. <br />• Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. <br />• Efek samping mual, muntah, anorexia <br />9. Acetazolamide (diamox). <br />• Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. <br />• Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi. <br />10. ACTH <br />Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.<br />ASUHAN KEPERAWATAN<br />I.Pengkajian <br />1. Riwayat kesehatan <br />1. Riwayat keluarga dengan kejang <br />2. Riwayat kejang demam <br />3. Tumor intrakranial <br />4. Trauma kepal terbuka, stroke <br />5. Riwayat kejang <br />1. Berapa sering terjadi kejang <br />2. Gambaran kejang seperti apa <br />3. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal <br />4. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang <br />5. Riwayat penggunaan obat <br />1. Nama obat yang dipakai <br />2. Dosis obat <br />3. Berapa kali penggunaan obat <br />4. Kapan putus obat <br />5. Pemeriksaan fisik <br />1. Tingkat kesadaran <br />2. Abnormal posisi mata <br />3. Perubahan pupil <br />4. Gerakan motorik <br />5. Tingkah laku setelah kejang <br />6. Apnea <br />7. Cyanosis <br />8. Saliva banyak <br />9. Psikososial <br />1. Usia <br />2. Jenis kelamin <br />3. Pekerjaan <br />4. Peran dalam keluarga <br />5. Strategi koping yang digunakan <br />6. Gaya hidup dan dukungan yang ada <br />7. Pengetahuan pasien dan keluarga <br />1. Kondisi penyakit dan pengobatan <br />2. Kondisi kronik <br />3. Kemampuan membaca dan belajar <br />4. Pemeriksaan diagnostik <br />1. Laboratorium <br />2. Radiologi <br />II. Diagnosa keperawatan<br />1. Resiko injury b/d aktivitas kejang <br />2. Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi <br />3. Cemas b/d terjadinya kejang <br />4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan <br />III. Intervensi keperawatan<br />1. Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi<br />Intervensi:<br />Mandiri<br />1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. <br />2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. <br />3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen. <br />4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi. <br />5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi. <br />Kolaborasi<br />1. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal. <br />2. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi <br />2. Dx: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan<br />Mandiri<br />1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/ prognosis penyakit dan perlunya pengobata/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi. <br />2. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurasi dosis. <br />3. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan, jika memungkinkan. <br />4. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperi mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik. <br />5. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam petunjuk yang memberitahukan bahwa pasien adalah penderita epilepsi. <br />6. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam. <br />7. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal <br />8. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya, alkohol, kefein dan obaat yang dapat menstimulasi kejang. <br />9. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi teratur. <br />10. Identifikasi perlunya penerimaan terhadap keterbatasan yang dimiliki, diskusikan tindakan keamanan yang diperhatikan saat mengemudi, menggunakan alat mekanik, panjat tebing, berenang, hobi dan sejenisnya.askripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-26941932426625175202009-12-20T20:06:00.000-08:002009-12-20T20:07:17.761-08:00ASKEP TETANUSASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TETANUS<br /><br />I. Pendahuluan<br /> Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan , dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. <br />Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu. Dari seringnya kasus tetanus serta kegawatan yang ditimbulkan, maka sebagai seorang perawat atau bidan dituntut untuk mampu mengenali tanda kegawatan dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.<br /><br />II. Pengertian<br /> Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. <br />Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman.<br /><br />III. Epidemiologi<br /> Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah.<br /> Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.<br /> Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :<br />1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar<br />2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik<br />3. OMP, caries gigi<br />4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.<br />5. Penjahitan luka robek yang tidak steril. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />IV. Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)<br /><br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /> <br /> <br /><br /><br />Tonus otot Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis<br /> Gangliosides<br /><br />Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan<br /> pada tetanus -Hipertermi<br /> -Hipotermi<br /> -Aritmia<br /> -Takikardi<br /> <br /> Hipoksia berat<br /> <br /> O2 di otak<br /><br /> Kesadaran <br /><br />-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan - Hipoksemia<br />-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan<br /> -Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas<br /> Verbal -Kurangnya pengetahuan<br /> Ortu<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />V. Penatalaksanaan<br />Umum<br />1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pemberian cairan secara i.v., sekalian untuk memberikan obat-obatan secara syringe pump (valium pump).<br />2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu tracheostomy.<br />3. Memeriksa tambahan oksigen secara nasal atau sungkup.<br />4. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian valium/diazepam bolus i.v. 5 mg untuk neonatus, bolus i.v. atau perectal 10 mg untuk anak-anak (maksimum 0.7 mg/kg BB).<br />Khusus<br />1. Antibiotika PP 50.000-100.000 IU/kg BB.<br />2. Sera anti. Dapat diberikan ATS 5000 IU i.m. atau TIGH (Tetanus Immune Globulin Human) 500-3.000 IU. Pemberian sera anti harus disertai dengan imunisasi aktif dengan toksoid (DPT/DT/TT)<br />3. Perawatan luka sangat penting dan harus secara steril dan perawatan terbuka (debridement).<br />4. Konsultasi dengan dokter gigi atau dokter bedah atau dokter THT<br />Pencegahan<br />1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk adanya jaringan mati dan nanah.<br />2. Pemberian ATS profilaksis.<br />3. Imunisasi aktif.<br />4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.<br />5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan lanjutan.<br /><br />VI. Proses Keperawatan<br />VI.1. Pengkajian Keperawatan<br />1. Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.<br />2. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.<br />3. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset).<br />4. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir<br />5. Riwayat psiko sosial.<br />5.1. Kebiasaan anak bermain di mana<br />5.2. Hygiene sanitasi<br />6. Pemeriksaan fisik.<br />6.1. Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus, bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis.<br />6.2. Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus). <br />6.3. Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.<br />6.4. Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot pinggang, semua trunk muscle.<br />6.5. Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.<br />6.6. Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang.<br />7. Pengetahuan anak dan keluarga. <br />7.1. Pemahaman tentang diagnosis<br />7.2. Pengetahuan/penerimaan terhadap prognosa<br />7.3. Rencana perawatan ke depan.<br /><br />VI.2. Diagnosa Keperawatan<br /> Setelah pengumpulan data, menganalisa data, dan menentukan diagnosa keperawatan yang tepat sesuai dengan data yang ditemukan, kemudian direncanakan membuat prioritas diagnosa keperawatan, membuat kriteria hasil, dan intervensi keperawatan. <br />1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat.<br />2. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan sirkulasi (hipoksia berat).<br />3. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring).<br />4. Koping keluarga tidak efektif b.d. kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak<br />5. Gangguan komunikasi verbal b.d. sukar untuk membuka mulut (kekakuan otot-otot masseter)<br />6. Risti gangguan pertukaran gas b.d. penurunan oksigen di otak.<br />7. Risti injuri b.d. kejang spontan yang terus-menerus (kurang suplai oksigen karena adanya oedem laring).<br /><br />1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat.<br />Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan dan pertumbuhan normal.<br />Kriteria hasil :<br /> Tidak terjadi dehidrasi<br /> Tidak terjadi penurunan BB<br /> Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb<br /> Tidak menunjukkan tanda-tanda malnutrisi<br />Intervensi :<br />1. Catat intake dan output secara akurat.<br />2. Berikan makan minum personde tepat waktu.<br />3. Berikan perawatan kebersihan mulut.<br />4. Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.<br />5. Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi dan <br /> sesuaikan dengan kebutuhan.<br />6. Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari.<br />7. Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan ahli gizi.<br /><br />2. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)<br />Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara maksimal.<br />Kriteria hasil : <br /> Tidak terjadi aspirasi<br /> Bunyi napas terdengar bersih<br /> Rongga mulut bebas dari sumbatan<br />Intervensi :<br />1. Berikan O2 nebulizer<br />2. Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar.<br />3. Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi batuk.<br />4. Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut.<br />5. Berikan perawatan kebersihan mulut.<br />6. Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara efektif dengan melihat waktu.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-47082433740401445912009-12-20T20:04:00.000-08:002009-12-20T20:06:06.826-08:00ASKEP MENINGITISASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MENINGITIS<br /><br /><br />A. Definisi<br />Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).<br />Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).<br />Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).<br /><br />B. Etiologi<br />1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),<br /> Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas<br />aeruginosa<br />2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia<br />3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita<br />4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir<br /> kehamilan<br />5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.<br />6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem<br /> Persarafan<br /><br />C. Klasifikasi<br />Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan<br />otak, yaitu :<br />1. Meningitis serosa<br />Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih.<br />Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus,<br />Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.<br /><br />2. Meningitis purulenta<br />Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.<br />Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.<br /><br />C. Patofisiologi<br />Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia,<br />yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.<br /><br />D. Manifestasi klinis<br />Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :<br />1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)<br />2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.<br />3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:<br />a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.<br />b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.<br />c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.<br />4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.<br />5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.<br />6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.<br />7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata<br /><br />E. Pemeriksaan Diagnostik<br />1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :<br />a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah<br />putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.<br />b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.<br />2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )<br />3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )<br />4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )<br />5. Elektrolit darah : Abnormal .<br />6. ESR/LED : meningkat pada meningitis<br />7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi<br /> atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi<br />8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor<br />9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.<br /><br />F. Komplikasi<br />1. Hidrosefalus obstruktif<br />2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )<br />3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)<br />4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )<br />5. Efusi subdural<br />6. Kejang<br />7. Edema dan herniasi serebral<br />8. Cerebral palsy<br />9. Gangguan mental<br />10. Gangguan belajar<br />11. Attention deficit disorder<br />.<br />G. Asuhan Keperawatan<br />1. Pengkajian<br />a) Biodata klien<br />b) Riwayat kesehatan yang lalu<br />(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?<br />(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?<br />(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?<br />c) Riwayat kesehatan sekarang<br />(1) Aktivitas<br />Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.<br />(2) Sirkulasi<br />Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.<br />(3) Eliminasi<br />Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.<br />(4) Makanan/cairan<br />Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.<br />(5) Higiene<br />Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.<br />(6) Neurosensori<br />Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman.<br />Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia, anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.<br />(7) Nyeri/keamanan<br />Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.<br />(8) Pernafasan<br />Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.<br /><br />2. Diagnosa keperawatan<br />a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen<br />b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.<br />c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.<br />d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.<br />e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan<br />f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.<br /><br />3. Intervensi keperawatan<br />a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.<br />Mandiri :<br />• Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan<br />• Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.<br />• Pantau suhu secara teratur<br />• Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus<br />• Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam<br />• Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )<br /> Kolaborasi :<br />• Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.<br /><br />b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.<br /> Mandiri :<br />• Tirah baring dengan posisi kepala datar.<br />• Pantau status neurologis.<br />• Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang<br />• Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.<br />• Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.<br /> Kolaborasi :<br />• Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.<br />• Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).<br />• Pantau BGA.<br />• Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen<br /><br />c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.<br /> Mandiri<br />• Pantau adanya kejang<br />• Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan<br />• Tirah baring selama fase akut <br />Kolaborasi :<br />• Berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.<br /><br />d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.<br /> Mandiri :<br />• Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.<br />• Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)<br />• Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.<br />• Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul<br /> Kolaborasi :<br />1. Berikan analgetik, asetaminofen,codein<br /><br />e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.<br />2. Kaji derajat imobilisasi pasien.<br />3. Bantu latihan rentang gerak.<br />4. Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.<br />5. Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.<br />6. Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.<br /><br />f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis<br />• Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.<br />• Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.<br />• Observasi respons perilaku.<br />• Hilangkan suara bising yang berlebihan.<br />• Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.<br />• Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.<br />• Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.<br /><br />g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.<br />• Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.<br />• Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.<br />• Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.<br />• Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.<br /><br />H. Evaluasi<br /> Hasil yang diharapkan<br />1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.<br />2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.<br />3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.<br />4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.<br />5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.<br />6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.<br />7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.<br />2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.<br />3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.<br />4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.<br />5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.<br />6. Long, Barbara C. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-55880122875134921092009-12-20T20:03:00.000-08:002009-12-20T20:04:46.781-08:00ASKEP GLUKOMAPADA PASIEN DENGAN GLUKOMA<br /><br />A. DEFINISI<br />Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.(Sidarta Ilyas,2000).<br />Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler.( Long Barbara, 1996)<br /><br />B. ETIOLOGI <br />Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan oleh : <br />- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary <br />- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil <br /><br />C. KLASIFIKASI<br />1. Glaukoma primer <br />- Glaukoma sudut terbuka<br /> Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul. <br />- Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit)<br /> Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat hal. Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat. <br />2. Glaukoma sekunder <br />Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan trauma . Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada penyebab.<br />- Perubahan lensa <br />- Kelainan uvea<br />- Trauma<br />- bedah<br />3. Glaukoma kongenital<br />- Primer atau infantil<br />- Menyertai kelainan kongenital lainnya <br />4. Glaukoma absolut<br />Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. <br /> Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.<br /> <br /> Berdasarkan lamanya :<br />1. GLAUKOMA AKUT<br />a. Definisi<br /> Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.<br />b. Etiologi<br /> Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata, atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40 tahun atau lebih.<br /><br />c. Faktor Predisposisi<br /> Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema, luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca pembedahan intraokuler.<br />d. Manifestasi klinik<br />1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala .<br />2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut.<br />3). Tajam penglihatan sangat menurun.<br />4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.<br />5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.<br />6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.<br />7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea.<br />8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.<br />9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media penglihatan.<br />10). Tekanan bola mata sangat tinggi.<br />11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.<br />e. Pemeriksaan Penunjang<br />Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan tekanan.<br />Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea menghilang.<br />f. Penatalaksanaan<br /> Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun, lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah pengobatan medikamentosa.<br /><br /><br /><br />2. GLAUKOMA KRONIK<br />a. Definisi<br />Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen.<br />b. Etiologi<br />Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif.<br />c. Manifestasi klinik<br />Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan permanen.<br />d. Pemeriksaan Penunjang<br />Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan dianggap patologik diatas 25 mmHg.<br />Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma busur.<br />e. Penatalaksanaan<br />Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan. Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />D. PATHWAY GLAUKOMA<br /><br />Usia > 40 th<br />DM<br />Kortikosteroid jangka panjang<br />Miopia<br />Trauma mata<br /><br /><br /><br /> Obstruksi jaringan peningkatan tekanan <br /> Trabekuler Vitreus<br /><br /><br /><br /> Hambatan pengaliran pergerakan iris kedepan<br /> Cairan humor aqueous<br /><br /><br /><br /><br /> TIO meningkat Glaukoma TIO Meningkat<br /><br /><br /><br /><br /> Gangguan saraf optik tindakan operasi<br /><br /><br /><br /><br /> Perubahan penglihatan <br /> Perifer<br /><br /><br /><br /><br /> Kebutaan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. ASUHAN KEPERAWATAN<br />1). Pengkajian<br />a) Aktivitas / Istirahat : <br />Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.<br />b) Makanan / Cairan :<br />Mual, muntah (glaukoma akut)<br /><br /><br />c) Neurosensori :<br />Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).<br />Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).<br />Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.<br />Tanda :<br />Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.<br />Peningkatan air mata.<br />d) Nyeri / Kenyamanan :<br />Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)<br />Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut).<br />e) Penyuluhan / Pembelajaran<br />Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.<br />Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin.<br />Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.<br />2). Pemeriksaan Diagnostik<br />(1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.<br />(2) Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.<br />(3) Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg)<br />(4) Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma.<br />(5) Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya meningkat ringan.<br />(6) Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma. <br />(7) Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.<br />(8) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosisi,PAK.<br />(9) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.<br /><br />F. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi<br />a. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah.<br />Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang<br />Kriteria hasil :<br />- pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian pengontrolan nyeri <br />- pasien mengatakan nyeri berkurang/hilang<br />- ekspresi wajah rileks<br />Intervensi :<br />- kaji tipe intensitas dan lokasi nyeri <br />- kaji tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgesik<br />- anjurkan istirahat ditempat tidur dalam ruangan yang tenang<br />- atur sikap fowler 300 atau dalam posisi nyaman.<br />- Hindari mual, muntah karena ini akan meningkatkan TIO<br />- Alihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan<br />- Berikan analgesik sesuai anjuran<br />b. Gangguan persepsi sensori : penglihatan b.d gangguan penerimaan;gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.<br />Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal<br />Kriteria Hasil:<br />- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan<br />- Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut.<br /> Intervensi :<br />- Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan<br />- Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan<br />- Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, menikuti jadwal, tidak salah dosis<br />- Lakukan tindakan untuk membantu pasien menanganiketerbatasan penglihatan, contoh, kurangi kekacauan,atur perabot, ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat; perbaiki sinar suram dan masalah penglihatan malam.<br />- Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi<br />c. Ansitas b. d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri, kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup.<br />Tujuan : Cemas hilang atau berkurang<br />Kriteria Hasil:<br />- Pasien tampak rileks dan melaporkan ansitas menurun sampai tingkat dapat diatasi.<br />- Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah<br />- Pasien menggunakan sumber secara efektif<br />Intervensi : <br />- Kaji tingkat ansitas, derajat pengalaman nyeri/timbul nya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.<br />- Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan mencegah kehilangan penglihatan tambahan.<br />- Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan.<br />- Identifikasi sumber/orang yang menolong.<br /><br />d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah.<br />Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi,prognosis dan pengobatannya.<br />Kriteria Hasil:<br />- pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.<br />- Mengidentifikasi hubungan antar gejala/tanda dengan proses penyakit<br />- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan.<br />Intervensi : <br />- Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi, <br />- Tunjukkan tehnik yang benar pemberian tetes mata.<br />- Izinkan pasien mengulang tindakan.<br />- Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat, contoh tetes mata. Diskusikan obat yang harus dihindari, contoh midriatik, kelebihan pemakaian steroid topikal.<br />- Identifikasi efek samping/reaksi merugikan dari pengobatan (penurunan nafsu makan, mual/muntah, kelemahan, <br /> jantung tak teratur dll.<br />- Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup<br />- Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat berat/men dorong, menggunakan baju ketat dan sempit.<br />- Diskusikan pertimbangan diet, cairan adekuat dan makanan berserat.<br />- Tekankan pemeriksaan rutin.<br />- Anjurkan anggota keluarga memeriksa secara teratur tanda glaukoma.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Junadi P. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-UI, 1982<br /><br />2. Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata, FKUI, 2000.<br /><br />3. Long C Barbara. Medical surgical Nursing. 1992<br /><br />4. Doungoes, marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3, EGC, Jakarta, 2000<br /><br />5. Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosisi dan Evaluasi. Ed 5 Vol3 EGC. Jakarta 1998<br /><br />6. Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah EGC. Jakarta 2002skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-74916925687166061142009-12-20T20:02:00.000-08:002009-12-20T20:03:24.583-08:00ASKEP HEPATITISAsuhan Keperawatan Hepetitis / Askep Hepatitis <br />Hepatitis<br /><br />A. Pengertian<br />Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).<br /><br />Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001).<br /><br />B. Etiologi<br /><br />Dua penyebab utama hepatitis adalah penyebab virus dan penyebab non virus. Sedangkan insidensi yang muncul tersering adalah hepatitis yang disebabkan oleh virus.<br />• Hepatitis virus dapat dibagi ke dalam hepatitis A, B, C, D, E.<br />• Hepatitis non virus disebabkan oleh agen bakteri, cedera oleh fisik atau kimia.<br /><br />C. Patofisiologi<br />Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.<br /><br />Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.<br /><br />Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik samapi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati.<br /><br />D. Tanda dan Gejala<br />1. Masa tunas<br /><br />• Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)<br />• Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)<br />• Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)<br /><br />2. Fase Pre Ikterik<br />Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.<br /><br />3. Fase Ikterik<br />Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.<br /><br />4. Fase penyembuhan<br />Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.<br /><br />E. Pemeriksaan Diagnostik<br />1. Laboratorium<br />• Pemeriksaan pigmen<br />• urobilirubin direk<br />• bilirubun serum total<br />• bilirubin urine<br />• urobilinogen urine<br />• urobilinogen feses<br /><br />• Pemeriksaan protein<br />• protein totel serum<br />• albumin serum<br />• globulin serum<br />• HbsAG<br /><br />• Waktu protombin<br />• respon waktu protombin terhadap vitamin K<br /><br />• Pemeriksaan serum transferase dan transaminase<br />• AST atau SGOT<br />• ALT atau SGPT<br />• LDH<br />• Amonia serum<br /><br />2. Radiologi<br />• foto rontgen abdomen<br />• pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif<br />• kolestogram dan kalangiogram<br />• arteriografi pembuluh darah seliaka<br /><br />3. Pemeriksaan tambahan<br />• laparoskopi<br />• biopsi hati<br /><br />F. Komplikasi<br />Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.<br /><br />G. Pengobatan<br />Hepatitis akut hanya memberi efek sedikit pada perjalanan penyakit. Pada permulaan penyakit. Secara tradisional dianjurkan diet rendah lemak, tinggi karbohidrat, yang ternyata paling cocok untuk selera pasien yang anoreksia. obat-obatan tambahan seperti vitamin, asam-amino dan obat lipotropik tak diperlukan. Obat kortikosteroid tidak mengubah derajat nekrosis sel hati, tidak mempercepat penyembuhan, ataupun mempertinggi imunisasi hepatitis viral.<br /><br />Hepatitis kronik tidak dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur, aktivitas latihan kebugaran jasmani (physical fitness) dapat dilanjutkan secara bertahap. Tidak ada aturan diet tertentu tetapi alkohol dilarang. Sebelum pemberian terapi perlu dilakukan biopsi hati, adanya hepatitis kronik aktif berat merupakan petunjuk bahwa terapi harus segera diberikan. kasus dengan tingkat penularan tinggi harus dibedakan dari kasus pada stadium integrasi yang relatif noninfeksius; karena itu perlu diperiksa status HbeAg, antiHBe dan DNA VHB.<br /><br />Pada kasus hepatitis karena obat atau toksin dan idiosinkrasi metabolik dapat diberikan cholestyramine untuk mengatasi pruritus yang hebat. Terapi-terapi lainnya hanya bersifat suportif.<br /><br />Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Hepatitis<br /><br /><br />A. Pengkajian<br />1. Keluhan Utama<br />Penderita datang untuk berobat dengan keluhan tiba-tiba tidak nafsu makan, malaise, demam (lebih sering pada HVA). Rasa pegal linu dan sakit kepala pada HVB, dan hilang daya rasa lokal untuk perokok.<br /><br />2. Pengkajian Kesehatan<br /><br />1. Aktivitas<br />• Kelemahan<br />• Kelelahan<br />• Malaise<br /><br />2. Sirkulasi<br />• Bradikardi (hiperbilirubin berat)<br />• Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa<br /><br />3. Eliminasi<br />• Urine gelap<br />• Diare feses warna tanah liat<br /><br />4. Makanan dan Cairan<br />• Anoreksia<br />• Berat badan menurun<br />• Mual dan muntah<br />• Peningkatan oedema<br />• Asites<br /><br />5. Neurosensori<br />• Peka terhadap rangsang<br />• Cenderung tidur<br />• Letargi<br />• Asteriksis<br /><br />6. Nyeri / Kenyamanan<br />• Kram abdomen<br />• Nyeri tekan pada kuadran kanan<br />• Mialgia<br />• Atralgia<br />• Sakit kepala<br />• Gatal (pruritus)<br /><br />7. Keamanan<br />• Demam<br />• Urtikaria<br />• Lesi makulopopuler<br />• Eritema<br />• Splenomegali<br />• Pembesaran nodus servikal posterior<br /><br />8. Seksualitas<br />• Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan<br /><br /><br />B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul<br /><br />1. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/muntah dan gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan: penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tertahan.<br />2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.<br />3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.<br /><br /><br />C. Intervensi<br /><br />1. Diagnosa Keperawatan 1. :<br />Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/muntah dan gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan: penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tertahan.<br />Kriteria Hasil :<br />• Pasien akan menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.<br />• Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium dan bebas tanda malnutrisi.<br /><br />Intervensi<br />• Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makan pagi paling besar.<br />• Berikan perawatan mulut sebelum makan.<br />• Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.<br />• Dorong pemasukan sari jeruk, minuman karbonat dan permen berat sepanjang hari.<br />• Konsultasikan pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien, dengan masukan lemak dan protein sesuai toleransi.<br />• Awasi glukosa darah.<br />• Berikan obat sesuai indikasi :<br />• Antiemitik (contoh metalopramide (reglan)).<br />• Antasida (contoh mylanta).<br />• Vitamin (contoh b kokpleks).<br />• Terapi steroid (contoh prednison (deltasone)).<br />• Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.<br /><br />2. Diagnosa Keperawatan 2. :<br />Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.<br /><br />Kriteria Hasil :<br />Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)<br /><br />Intervensi<br />• Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri.<br />• Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri<br />• Akui adanya nyeri<br />• Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya.<br />• Berikan informasi akurat dan jelaskan penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui.<br />• Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi.<br /><br />3. Diagnosa Keperawatan 3. :<br />Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.<br /><br />Kriteria Hasil :<br />Pola nafas adekuat<br /><br />Intervensi :<br />• Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan<br />• Auskultasi bunyi nafas tambahan<br />• Berikan posisi semi fowler<br />• Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif<br />• Berikan oksigen sesuai kebutuhanskripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-13956853257003965442009-12-20T20:00:00.000-08:002009-12-20T20:02:06.724-08:00ASKEP DMDIABETES MELLITUS<br /><br />A. Pengertian<br />Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).<br />Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).<br /><br />B. Klasifikasi<br />Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :<br />1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)<br />2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)<br />3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya<br />4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)<br /><br />C. Etiologi<br />1. Diabetes tipe I:<br />a. Faktor genetik<br />Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.<br />b. Faktor-faktor imunologi<br />Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.<br />c. Faktor lingkungan<br />Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.<br />2. Diabetes Tipe II<br />Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.<br />Faktor-faktor resiko :<br />a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)<br />b. Obesitas<br />c. Riwayat keluarga<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />D. Patofisiologi/Pathways<br /><br />Defisiensi Insulin<br /><br /> glukagon↑ penurunan pemakaian <br />glukosa oleh sel<br /> <br /> glukoneogenesis hiperglikemia<br /><br /> lemak protein glycosuria<br /><br /> ketogenesis BUN↑ Osmotic Diuresis<br /><br /> ketonemia Nitrogen urine ↑ Dehidrasi<br /><br /> ↓ pH Hemokonsentrasi<br /><br /> Asidosis Trombosis<br /><br /> Aterosklerosis<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. Tanda dan Gejala<br />Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.<br />Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :<br />1. Katarak <br />2. Glaukoma<br />3. Retinopati<br />4. Gatal seluruh badan<br />5. Pruritus Vulvae<br />6. Infeksi bakteri kulit<br />7. Infeksi jamur di kulit<br />8. Dermatopati<br />9. Neuropati perifer<br />10. Neuropati viseral<br />11. Amiotropi<br />12. Ulkus Neurotropik<br />13. Penyakit ginjal<br />14. Penyakit pembuluh darah perifer<br />15. Penyakit koroner<br />16. Penyakit pembuluh darah otak<br />17. Hipertensi <br />Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.<br />Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.<br />Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.<br />F. Pemeriksaan Penunjang<br />1. Glukosa darah sewaktu<br />2. Kadar glukosa darah puasa<br />3. Tes toleransi glukosa<br />Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)<br /> Bukan DM Belum pasti DM DM<br />Kadar glukosa darah sewaktu <br />- Plasma vena<br />- Darah kapiler<br />Kadar glukosa darah puasa<br />- Plasma vena<br />- Darah kapiler <br /><br />< 100<br /><80<br /><br /><br /><110<br /><90 <br /><br />100-200<br />80-200<br /><br /><br />110-120<br />90-110 <br /><br />>200<br />>200<br /><br /><br />>126<br />>110<br />Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :<br />1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)<br />2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)<br />3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl<br /><br />G. Penatalaksanaan<br />Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.<br />Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :<br />1. Diet<br />2. Latihan<br />3. Pemantauan<br />4. Terapi (jika diperlukan)<br />5. Pendidikan<br /><br />H. Pengkajian<br /> Riwayat Kesehatan Keluarga<br />Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?<br /> Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya<br />Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.<br /> Aktivitas/ Istirahat :<br />Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.<br /><br /> Sirkulasi<br />Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah<br /> Integritas Ego<br />Stress, ansietas<br /> Eliminasi<br />Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare<br /> Makanan / Cairan<br />Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.<br /> Neurosensori<br />Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.<br /> Nyeri / Kenyamanan<br />Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)<br /> Pernapasan<br />Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)<br /> Keamanan<br />Kulit kering, gatal, ulkus kulit.<br /><br />I. Masalah Keperawatan<br />1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan<br />2. Kekurangan volume cairan <br />3. Gangguan integritas kulit<br />4. Resiko terjadi injury<br /><br />J. Intervensi<br />1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.<br /> Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi<br />Kriteria Hasil :<br /> Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat<br /> Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya<br />Intervensi :<br /> Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.<br /> Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.<br /> Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.<br /> Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.<br /> Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.<br /> Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.<br /> Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.<br /> Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.<br /> Kolaborasi dengan ahli diet.<br /><br />2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.<br />Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi<br />Kriteria Hasil :<br />Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.<br /><br />Intervensi :<br /> Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik<br /> Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul<br /> Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas<br /> Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa<br /> Pantau masukan dan pengeluaran<br /> Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung<br /> Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.<br /> Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur<br /> Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)<br /><br />3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).<br /> Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.<br />Kriteria Hasil :<br />Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi<br />Intervensi :<br /> Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.<br /> Kaji tanda vital<br /> Kaji adanya nyeri<br /> Lakukan perawatan luka<br /> Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.<br /> Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.<br /><br /><br /><br />4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan<br />Tujuan : pasien tidak mengalami injury<br />Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury<br />Intervensi :<br /> Hindarkan lantai yang licin.<br /> Gunakan bed yang rendah.<br /> Orientasikan klien dengan ruangan.<br /> Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari<br /> Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi<br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.<br /><br />Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.<br /><br />Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.<br /><br />Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.<br /><br />Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.<br /><br />Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-40510443441875499832009-12-20T19:58:00.000-08:002009-12-20T19:59:44.351-08:00ASKEP ARDSAsuhan Keperawatan KLIEN dengan <br />ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)<br />Pre Acut / Post Acut Care<br /><br />DEFINISI<br /> Gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.<br /><br />ETIOLOGI<br />ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.<br /><br />FAKTOR RESIKO<br />1. Trauma langsung pada paru<br />• Pneumoni virus,bakteri,fungal<br />• Contusio paru<br />• Aspirasi cairan lambung<br />• Inhalasi asap berlebih<br />• Inhalasi toksin<br />• Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama<br />2. Trauma tidak langsung<br />• Sepsis<br />• Shock<br />• DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)<br />• Pankreatitis<br />• Uremia<br />• Overdosis Obat<br />• Idiophatic (tidak diketahui)<br />• Bedah Cardiobaypass yang lama<br />• Transfusi darah yang banyak<br />• PIH (Pregnand Induced Hipertension)<br />• Peningkatan TIK<br />• Terapi radiasi<br /><br /><br />MANIFESTASI KLINIK<br />1. Peningkatan jumlah pernapasan<br />2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis<br />3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan<br /><br />PATOFISIOLOGI<br />Timbul serangan<br /><br />Trauma endotelium paru Kerusakan Jaringan Paru Trauma type II<br />dan epitelium alveolar Pneumocytes<br /> <br />Peningkatan permeabilitas Penurunan surfactan<br /><br /> Edema pulmonal Penurunan pengembangan Atelektasis<br />paru<br /><br /><br />Alveoli terendam Hipoksemia Abnormalitas <br /> ventilasi-perfusi<br /><br /><br /> Proses penyembuhan Fibrosis<br /><br /><br /><br /> Sembuh ? Kematian <br /><br />PENATA LAKSANAAN MEDIS<br />Tujuan Terapi :<br />• Support pernapasan<br />• Mengobati penyebab jika mungkin<br />• Mencegah komplikasi.<br /><br />TERAPI :<br />• Intubasi untuk pemasangan ETT<br />• Pemasangan Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk mempertahankan keadekuatan level O2 darah.<br />• Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator<br />• Pengobatan tergantung klien dan proses penyakitnya : <br /> Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.<br /> Antibiotik untuk mengatasi infeksi<br /> Kortikosteroid dosis besar (kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan mempertahankan stabilitas membran paru.<br /><br />DATA DASAR PENGKAJIAN<br /> Keadaan-keadaan berikut biasanya terjadi saat periode latent saat fungsi paru relatif masih terlihat normal (misalnya 12 – 24 jam setelah trauma/shock atau 5 – 10 hari setelah terjadinya sepsis) tapi secara berangsur-angsur memburuk sampai tahapan kegagalan pernafasan. Gejala fisik yang ditemukan amat bervariasi, tergantung daripada pada tahapan mana diagnosis dibuat.<br /><br />AKTIVITAS & ISTIRAHAT<br />Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan<br /> Insomnia<br />SIRKULASI<br />Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/bypass cardiopulmonary, fenomena embolik (darah, udara, lemak)<br />Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).<br /> Heart rate : takikardi biasa terjadi<br /> Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi<br /> Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal<br /> Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)<br />INTEGRITAS EGO<br />Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian<br />Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.<br /><br />MAKANAN/CAIRAN<br />Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea<br />Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan<br /> Hilang/melemahnya bowel sounds<br /><br />NEUROSENSORI<br />Suby./Oby. : Gejala truma kepala<br /> Kelambanan mental, disfungsi motorik<br />RESPIRASI<br />Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal diffuse<br /> Kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”<br />Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting<br /> Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.<br /> Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial<br /> Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi<br /> Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada<br /> Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.<br /> Sputum encer, berbusa<br /> Pallor atau cyanosis<br /> Penurunan kesadaran, confusion<br />RASA AMAN<br />Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi darah, episode anaplastik<br />SEKSUALITAS<br />Suby./Oby. : Riwayat kehamilan dengan komplikasi eklampsia<br /><br />KEBUTUHAN BELAJAR<br />Subyektif : Riwayat ingesti obat/overdosis<br />Discharge Plan : Ketergantungan sebagai efek dari kerusakan pulmonal, mungkin membutuhkan asisten saat bepergian, shopping, self-care.<br />STUDY DIAGNOSTIK <br />- Chest X-Ray<br />- ABGs/Analisa gas darah<br />- Pulmonary Function Test<br />- Shunt Measurement (Qs/Qt)<br />- Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)<br />- Lactic Acid Level<br />PRIORITAS KEPERAWATAN<br />1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi respirasi optimal dan oksigenasi<br />2. Meminimalkan/mencegah komplikasi<br />3. Mempertahankan nutrisi adekuat untuk penyembuhan/membantu fungsi pernafasan<br />4. Memberikan support emosi kepada pasien dan keluarga<br />5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognose, dan kebutuhan pengobatan<br /><br />TUJUAN KEPERAWATAN<br />1. Bernafas spontan dengan tidal volume adekuat<br />2. Suara nafas bersih/membaik<br />3. Bebas sari terjadinya komplikasi<br />4. Memandang secara realistis terhadap situasi<br />5. Proses penyakit, prognosis dan therapi dapat dimengerti<br />DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.<br />3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuritik, ke-luaran cairan kompartemental<br />4. Resiko tinggi kelebihan volome cairan berhubungan dengan edema pulmonal non Kardia.<br />5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung,edema,hipotensi.<br />6. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,pening katan sekresi,penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat atau kelelahan.<br />7. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.<br />8. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.<br />Intervensi dan Rasional<br />1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.<br />Tujuan :<br />- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)<br />- Pasien bebas dari dispneu<br />- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan<br />- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas<br />Tindakan :<br />Independen <br />- Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya<br />Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas<br />- Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus<br />Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus<br />- Catat karakteristik dari suara nafas<br />Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas<br />- Catat karakteristik dari batuk <br />Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent<br />- Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu<br />Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten<br />- Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi<br />Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan infeksi paru<br />- Peningkatan oral intake jika memungkinkan<br />Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum<br />Kolaboratif<br />- Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi<br />Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen<br />- Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi<br />Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret<br />- Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi<br />Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan<br />- Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik<br />Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi<br />2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.<br />Tujuan :<br />- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal<br />- Bebas dari gejala distress pernafasan<br />Tindakan :<br />Independen<br />- Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas<br />Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas<br />- Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing<br />Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas<br />- Kaji adanya cyanosis<br />Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.<br />- Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat<br />Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium<br />- Berikan istirahat yang cukup dan nyaman<br />Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen<br />Kolaboratif<br />- Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi<br />Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai<br />- Berikan pencegahan IPPB <br />Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi<br />- Review X-ray dada<br />Memperlihatkan kongesti paru yang progresif<br />- Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant<br />Untuk mencegah ARDS<br />3. Resiko tinggi defisit volume cairan <br />Faktor resiko : penggunaan deuritik, keluaran cairan kompartemental<br />Tujuan :<br />pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda tekanan darah, berat badan, urine output pada batas normal.<br />Tindakan :<br />Independen<br />- Monitor vital signs seperti tekanan darah, heart rate, denyut nadi (jumlah dan volume)<br />Berkurangnya volume/keluarnya cairan dapat meningkatkan heart rate, menurunkan tekanan darah, dan volume denyut nadi menurun.<br />- Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban membran mukosa dan karakter sputum<br />Penurunan cardiac output mempengaruhi perfusi/fungsi cerebral. Deficit cairan dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, sekret kental.<br />- Hitung intake, output dan balance cairan. Amati “insesible loss”<br />Memberikan informasi tentang status cairan. Keseimbangan cairan negatif merupakan indikasi terjadinya deficit cairan.<br />- Timbang berat badan setiap hari<br />Perubahan yang drastis merupakan tanda penurunan total body water<br />Kolaboratif<br />- Berikan cairan IV dengan observasi ketat<br />Mempertahankan/memperbaiki volume sirkulasi dan tekanan osmotik. Meskipun cairan mengalami deficit, pemberian cairan IV dapat meningkatkan kongesti paru yang dapat merusak fungsi respirasi<br />- Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi<br />Elektrolit khususnya pottasium dan sodium dapat berkurang sebagai efek therapi deuritik.<br /><br />4. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.<br />Tujuan :<br />- Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara verbal<br />- Mengakui dan mau mendiskusikan ketakutannya, rileks dan rasa cemasnya mulai berkurang <br />- Mampu menanggulangi, mampu menggunakan sumber-sumber pendukung untuk memecahkan masalah yang dialaminya.<br />Tindakan <br />Independen:<br />- Observasi peningkatan pernafasan, agitasi, kegelisahan dan kestabilan emosi.<br />Hipoksemia dapat menyebabkan kecemasan.<br />- Pertahankan lingkungan yang tenang dengan meminimalkan stimulasi. Usahakan perawatan dan prosedur tidak menggaggu waktu istirahat.<br />Cemas berkurang oleh meningkatkan relaksasi dan pengawetan energi yang digunakan.<br />- Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi. <br />Memberi kesempatan untuk pasien untuk mengendalikan kecemasannya dan merasakan sendiri dari pengontrolannya.<br />- Identifikasi persepsi pasien dari pengobatan yang dilakukan <br />Menolong mengenali asal kecemasan/ketakutan yang dialami<br />- Dorong pasien untuk mengekspresikan kecemasannya.<br />Langkah awal dalam mengendalikan perasaan-perasaan yang teridentifikasi dan terekspresi. <br />- Membantu menerima situsi dan hal tersebut harus ditanggulanginya.<br />Menerima stress yang sedang dialami tanpa denial, bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.<br />- Sediakan informasi tentang keadaan yang sedang dialaminya.<br />Menolong pasien untuk menerima apa yang sedang terjadi dan dapat mengurangi kecemasan/ketakutan apa yang tidak diketahuinya. Penentraman hati yang palsu tidak menolong sebab tidak ada perawat maupun pasien tahu hasil akhir dari permasalahan itu.<br />- Identifikasi tehnik pasien yang digunakan sebelumnya untuk menanggulangi rasa cemas.<br />Kemampuan yang dimiliki pasien akan meningkatkan sistem pengontrolan terhadap kecemasannya<br />Kolaboratif<br />- Memberikan sedative sesuai indikasi dan monitor efek yang merugikan.<br />Mungkin dibutuhkan untuk menolong dalam mengontrol kecemasan dan meningkatkan istirahat. Bagaimanapun juga efek samping seperti depresi pernafasan mungkin batas atau kontraindikasi penggunaan.<br />5. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.<br />Tujuan :<br />- Pasien dapat menerangkan hubungan antara proses penyakit dan terafi<br />- Menjelaskan secara verbal diet, pengobatan dan cara beraktivitas<br />- Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang membutuhkan perhatian medis<br />- Memformulasikan rencana untuk follow –up<br />Tindakan :<br />Independen <br />- Berikan pembelajaran dari apa yang dibutuhkan pasien. Berikan informasi dengan jelas dan dimengerti. Kaji potensial untuk kerjasama dengan cara pengobatan di rumah. Meliputi hal yang dianjurkan.<br />Penyembuhan dari gagal nafas mungkin memerlukan perhatian, konsentrasi dan energi untuk menerima informasi baru. Ini meliputi tentang proses penyakit yang akan menjadi berat atau yang sedang mengalami penyembuhan.<br />- Sediakan informasi masalah penyebab dari penyakit yang sedang dialami pasien.<br />ARDS adalah sebuah komplikasi dari penyakit lain, bukan merupakan diagnosa primer. Pasien sering bingung oleh perkembangan itu, dalam k esehatan sistem respirasi sebelumnya.<br />- Instruksikan tindakan pencegahan, jika dibutuhkan. Diskusikan cara menghindari overexertion dan perlunya mempertahankan pola istirahat yang periodik. Hindari lingkungan yang dingin dan orang-orang terinfeksi.<br />Pencegahan perlu dilakukan selama tahap penyembuhan. Hindari faktor yang disebabkan oleh lingkungan seperti merokok. Reaksi alergi atau infeksi yang mungkin terjadi untuk mencegah komplikasi berikutnya.<br />- Sediakan informasi baik secara verbal atau tulisan mengenai pengobatan misalnya: tujuan, efek samping, cara pemberian , dosis dan kapan diberikan<br />Merupakan instruksi bagi pasien untuk keamanan pengobatan dan cara-cara pengobatan dapat diikutinya.<br />- Kaji kembali konseling tentang nutrisi ; kebutuhan makanan tinggi kalori <br />Pasien dengan masalah respirasi yang berat biasanya kehilangan berat-badan dan anoreksia sehingga kebutuhan nutrisi meningkat untuk penyembuhan.<br />- Bimbing dalam melakukan aktivitas.<br />Pasien harus menghindari kelelahan dan menyelingi waktu istirahat dengan aktivitas dengan tujuan meningkatkan stamina dan cegah hal yang membutuhkan oksigen yang banyak<br />- Demonstrasikan teknik adaptasi pernafasan dan cara untuk menghemat energi selama aktivitas.<br />Kondisi yang lemah mungkin membuat kesulitan untuk pasien mengatur aktivitas yang sederhana.<br />- Diskusikan follow-up care misalnya kunjungan dokter, test fungsi sistem pernafasan dan tanda/gejala yang membutuhkan evaluasi/intervensi.<br />Alasan mengerti dan butuh untuk follow up care sebaik dengan apa yang merupakan kebutuhan untuk meningkatkan partisipasi pasien dalam hal medis dan mungkin mempertinggi kerjasama dengan medis.<br />- Kaji rencana untuk mengunjungi pasien seperti kunjungan perawat<br />Mendukung selama periode penyembuhan <br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.<br /><br />Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.<br /><br />Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.<br /><br />……… 2000. Diktat Kuliah Gawat Darurat. PSIK FK.Unair. TA: 2000/2001. Surabaya.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-74117185052406630942009-12-16T23:50:00.000-08:002009-12-16T23:56:18.959-08:00ASKEP PANKREATITISAsuhan Keperawatan Pankreatitis <br />Asuhan Keperawatan Pankreatitis<br /><br /><br />A. PENGERTIAN<br />Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001; 1338)<br />Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas. (Doengoes, 2000;558)<br />Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat alkoholisme dan penyakit saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra M. Nettina, 2001)<br />B. ETIOLOGI<br />- Batu saluran empedu<br />- Infeksi virus atau bakteri<br />- Alkoholisme berat<br />- Obat seperti steroid, diuretik tiazoid<br />- Hiperlipidemia, terutama fredericson tipe V<br />- Hiperparatiroidisme<br />- Asidosis metabolik<br />- Uremia<br />- Imunologi seperti lupus eritematosus<br />- Pankreatitis gestasional karena ketidakseimbangan hormonal<br />- Defisiensi protein<br />- Toksin<br />- Lain-lain seperti gangguan sirkulasi, stimulsi vagal<br />C. KLASIFIKASI<br />1. Pankreatitis akut atau inflamasi pada pankreas terjadi akibat tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin. (Brunner & Suddart, 2001:1339)<br />2. Pankreatitis kronik merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh kehancuran anatomis dan fungsional yang progresif pada pankreas. (Brunner & Suddart, 2001:1348)<br />D. TANDA DAN GEJALA KLINIS<br />Nyeri abdomen yang hebat merupakan gejala utama pankreatitis yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Rasa sakit dan nyeri tekan abdomen yang disertai nyeri pada punggung, terjadi akibat iritasi dan edema pada pankreas yang mengalami inflamasi tersebut sehingga timbul rangsangan pada ujung-ujung saraf. Peningkatan tekanan pada kapsul pankreas dan obstruksi duktus pankreatikus juga turut menimbulkan rasa sakit.<br />Secara khas rasa sakit yang terjadi pada bagian tengah ulu hati (midepigastrium). Awitannya sering bersifat akut dan terjdi 24-48 jam setelah makan atau setelah mengkonsumsi minuman keras; rasa sakit ini dapat bersifat menyebar dan sulit ditentukan lokasinya. Umumnya rasa sakit menjadi semakin parah setelah makan dan tidak dapat diredakan dengan pemberian antasid. Rasa sakit ini dapat disertai dengan distensi abdomen, adanya massa pada abdomen yang dapat diraba tetapi batasnya tidak jelas dan dengan penurunan peristatis. Rasa sakit yang disebabkan oleh pankreatitis sering disertai dengn muntah.<br />Pasien tampak berada dalam keadaan sakit berat defens muskuler teraba pada abdomen. Perut yang kaku atau mirip papan dapat terjadi dan merupakan tanda yang fatal. Namun demikian abdomen dapat tetap lunak jika tidak terjadi peritonitis. Ekimosis (memar) didaerah pinggang dan disekitar umbilikus merupakan tanda yang menunjukkan adanya pankreatitis haemoragik yang berat.<br />Mual dan muntah umumnya dijumpai pada pankreatitis akut. Muntahan biasanya berasal dari isi lambung tetapi juga dapat mengandung getah empedu. Gejala panas, ikterus, konfusidan agitasi dapat terjadi.<br />Hipotensi yang terjadi bersifat khas dan mencerminkan keadaan hipovolemia serta syok yang disebabkan oleh kehilangan sejumlah besar cairan yang kaya protein, karena cairan ini mengalir kedalam jaringan dan rongga peritoneum. Pasien dapat mengalami takikardia, sianosis dan kulit yang dingin serta basah disamping gejala hipotensi. Gagal ginjal akut sering dijumpai pada keadaan ini.<br />Gangguan pernafasan serta hipoksia lazim terjadi, dan pasien dapat memperlihatkan gejala infiltrasi paru yang difus, dispnoe, tachipnoe dan hasil pemeriksaan gas darah abnormal. Depresi miokard, hipokalsemia, hiperglikemia dan koagulopati intravaskuler diseminata dapat pula terjadi pada pankreatitis akut (Brunner & Suddart, 2001:1339)<br />E. KOMPLIKASI<br />Ø Timbulnya Diabetes Mellitus<br />Ø Tetani hebat<br />Ø Efusi pleura (khususnya pada hemitoraks kiri)<br />Ø Abses pankreas atau psedokista.<br />F. PATOFISIOLOGI (terlampir)<br />G. PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />1. Scan-CT : menentukan luasnya edema dan nekrosis<br />2. Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi pankreas, abses, pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.<br />3. Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula, penyakit obstruksi bilier dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur ini dikontra indikasikan pada fase akut.<br />4. Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.<br />5. Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan pankreas atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra peritoneal disebabkan oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.<br />6. Pemeriksaan seri GI atas : sering menunjukkan bukti pembesaran pankreas/inflamasi.<br />7. Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar normal tidak menyingkirkan penyakit).<br />8. Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.<br />9. Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih lama.<br />10. Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit hati alkoholik atau penekanan duktus koledokus).<br />11. Fosfatase Alkaline : biasanya meningkat bila pankreatitis disertai oleh penyakit bilier.<br />12. Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler dan transudasi cairan kearea ekstrasel).<br />13. Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit (biasanya menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).<br />14. Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.<br />15. Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab pankreatitis akut.<br />16. LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan bilier dalam hati.<br />17. Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin menurun karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi) sehubungan dengan muntah atau dari efusi cairan kedalam pankreas atau area retroperitoneal.<br />18. Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan awal atau akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan nekrosis pankreas dan tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin, hematuria dan proteinuria mungkin ada (kerusakan glomerolus).<br />19. Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan lemak dan protein (Dongoes, 2000).<br />H. PENATALAKSANAAN MEDIS<br />Tidak ada terapi yang diketahui dapat menghentikan siklus aktivasi enzim pankreas dengan inflamasi dan nekrosis kelenjar. Tetapi definitif ditujukan pada penyebab gamggua. Prioritas keperawatan dan medis untuk penatalaksanaan pendukung dari pankreatitis akut termasuk sebagai berikut:<br />- Penggantian cairan dan elektrolit<br />Penggantian cairan menjadi prioritas utama dalam penanganan pankreatitis akut. Larutan yang diperintahkan dokter untuk resusitasi cairan adalah koloid atau ringer laktat. Namun dapat pula diberikan plasma segar beku atau albumin. Tanpa memperhatikan larutan mana yang dipergunakan. Penggantian cairan digunakan untuk memberikan perfusi pankreas, yang hal ini diduga mengurangi perkembangan keparahan rasa sakit. Ginjal juga tetap dapat melakukan perfusi dan ini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal akut. Pasien dengan pankreatitis hemorragia kut selain mendapat terapi cairan mungkin juga membutuhkan sel-sel darah merah untuk memulihkan volume. Pasien dengan penyakit parah yang mengalami hipertensi, gagal memberikan respon terhadap terapi cairan mungkin membutuhkan obat-obatan untuk mendukung tekanan darah. Obat pilihannya adalah dopamin yang dapat dimulai pada dosis yang rendah (2-5 ug/kg/menit). Keuntungan obat ini adalah bahwa dosis rendah dapat menjaga perfusi ginjal sementara mendukung tekanan darah. Pasien hipokalsemia berat ditempetkan pada situasi kewaspdaan kejang dengan ketersediaan peralatan bantu nafas. Perawat bertanggung jawab untuk memantau kadar kalsium, terhadap pemberian larutan pengganti dan pengevaluasian respon pasien terhadap kalsium yang diberikan. Penggantian kalsium harus didifusikan melalui aliran sentral, karena infiltrasi perifer dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pasien juga harus dipantau terhadap toksisitas kalsium. Hipomagnesemia juga dapat timbul bersama hipokalsemia dan magnesium yang juga perlu mendapat penggantian. Koreksi terhadap magnesium biasanya dibutuhkan sebelum kadar kalsium menjadi normal. Kalium adalah elektrolit lain yang perlu diganti sejak awal sebelum regimen pengobatan karena muntah yang berhubungan dengan pangkreatitis akut. Kalium dalam jumlah yang berlebihan juga terdapat dalam getah pankreas. Kalsium harus diberikan dalam waktu lambat lebih dari satu jam lebih dengan menggunakan pompa infus. Pada beberapa kasus, hiperglikemia dapat juga berhubungan dengan dehidrasi atau ketidakseimbangan elektrolit lainnya. Mungkin diperintahkan pemberian insulin lainnya dengan skala geser, insulin ini perlu diberikan dengan hati-hati, karena kadar glukagon sementara pada pankreatitis akut (Hudak dan Gallo, 1996).<br />- Pengistirahatan pankreas<br />Suction nasogastric digunakan pada kebanyakan pasien dengan pankreatitis akut untuk menekan sekresi eksokrin pankreas dengan pencegahan pelepasan sekretin dari duodenum. Mual, muntah dan nyeri abdomen dapat juga berkurang bila selang nasogastric ke suction lebih dini dalam perawatan. Selang nasogastrik juga diperlukan pasien dengan illeus, distensi lambung berat atau penurunan tingkat kesadaran untuk mencegah komplikasi akibat aspirasi pulmoner. Puasa ketat (tak ada masukan peroral) harus dipertahankan sampai nyeri abdomen reda dan kadar albumin serum kembali normal. Namun parenteral total dianjurkan untuk pasien pankreatitis mendadak dan parah yang tetap dalam status puasa jangka panjang dengan suction nasogastrik dengan illeus paralitik, nyeri abdomen terus-menerus atau komplikasi pankreas. Lipid tidak boleh diberikan karena dapat meningkatkan kadar trigliserida lebih jauh dan memperburuk proses peradangan. Pada pasien dengan pankreatitis ringan cairan peroral biasanya dapat dimulai kembali dalam 3-7 hari dengan penggantian menjadi padat sesuai toleransi. Status puasa yang diperpanjang dapat menyulitkan pasien. Perawatan mulut yang sering dan posisi yang sesuai serta memberikan pelumasan pada selang nasogastric menjadi penting dengan mempertahankan integritas kulit dan memaksimalkan kenyamanan pasien. Dianjurkan tirah baring untuk mengurangi laju metabolisme basal pasien. Hal ini selanjutnya akan mengurangi rangsangan dari sekresi pankreas (Hudak dan Gallo, 1996).<br />- Penatalaksanaan nyeri<br />Analgesik diberikan untuk kenyamanan pasien maupun untuk mengurangi rangsangan saraf yang diinduksi stress atau sekresi lambung dan pankreas. Meferidan (dimerol) digunakan menggantikan morfin karena morfin dapat menginduksi spasme sfingter oddi (Sabiston, 1994).<br />- Pencegahan komplikasi<br />Karena sebab utama kematian adalah sepsis maka antibiotika diberikan. Antasid biasanya diberikan untuk mengurangi pengeluaran asam lambung dan duodenum dan resiko perdarahan sekunder terhadap gastritis atau duodenitis (Sabiston, 1994).<br />- Diet<br />Tinggi kalori tinggi protein rendah lemak (Barabara C. long, 1996).<br />- Pemberian enzim pankreas : pankreatin (viakose), pankrelipase (cotozym), pankrease (Barbara C. long, 1996).<br />- Fiberoscopy dengan kanulisasi dan spingterotomi oddi (Barbara C. long,1996).<br />- Intervensi bedah<br />Terapi bedah mungkin diperlukan dalam kasus pankreatitis akut yang menyertai penyakit batu empedu. Jika kolesistisis atau obstruksi duktus komunistidak memberikan respon terhadap terapi konservatif selama 48 jam pertama, maka kolesistosyomi, koleastektimi atau dekompresi duktus komunis.mungkin diperlukan untuk memperbaiki perjalanan klinik yang memburuk secara progresif. Sering adanya kolesistisis gangrenosa atau kolengitis sulit disingkirkan dalam waktu singkat dan intervensi yang dini mungkin diperlukan, tetapi pada umumnya terapi konservatif dianjurkan sampai pankreatitis menyembuh, dimana prosedur pada saluran empedu bisa dilakukan dengan batas keamanan yang lebih besar (Sabiston, 1994).<br />I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN<br />1. Anamnesa.<br />-Biodata<br />pada biodata diperoleh data tentang nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan status perkawinan. Dimana beberapa faktor tersebut dapat menempatkan klien pada resiko pada pankreatitis akut.<br />-Keluhan utama<br />nyeri hampir selalu merupakan keluhan yang diberikan oleh pasien dan nyeri dapat terjadi di epigastrium, abdomen bawah atau terlokalisir pada daerah torasika posterior dan lumbalis. Nyeri bisa ringan atau parah atau biasanya menetap dan tidak bersifat kram (Sabiston, 1994).<br />- Riwayat penyakit sekarang<br />riwayat kesehatan juga mencakup pengkajian yang tetap tentang nyeri, lokasi, durasi, faktor-faktor pencetus dan hubungan nyeri dengan makanan, postur, minum alkohol, anoreksia, dan intoleransi makanan (Hudak dan Gallo, 1996).<br />-Riwayat penyakit lalu<br />• Kaji apakah pernah mendapat intervensi pembedahan seperti colecystectomy, atau prosedur diagnostik seperti EKCP. Kaji apakah pernah menderita masalah medis lain yang menyebabkan pankreatitis meliputi :<br />- ulkus peptikum<br />- gagal ginjal<br />- vaskular disorder<br />- hypoparathyroidism<br />- hyperlipidemia<br />• Kaji apakah klien pernah mengidap infeksi virus dan buat catatan obat-obatan yang pernah digunakan (Donna D, 1995).<br />-Riwayat kesehatan keluarga<br />kaji riwayat keluarga yang mengkonsumsi alkohol, mengidap pankreatitis dan penyakit biliaris (Donna D, 1995).<br />-Pengkajian psikososial<br />penggunaan alkohol secara berlebihan adalah hal yang paling sering menyebabkan pankreatitis akut. Perlu dikaji riwayat penggunaan alkohol pada klien, kapan paling sering klien mengkonsumsi alkohol. Kaji apakah klien pernah mengalami trauma seperti kemtian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan yang berkontribusi terhadap peningkatan penggunaan alkohol. (Donna D, 1995)<br />-Pola aktivitas<br />klien dapat melaporkan adanya steatorea (feses berlemak), juga penurunan berat badan, mual, muntah. Pastikan karakteristik dan frekuensi buang air besar (Huddak & Gallo, 1996).<br />Perlu mengkaji status nutrisi klien dan cacat faktor yang dapat menurunkan kebutuhan nutrisi (Suzanna Smletzer, 1999).<br />2. Pemeriksaan fisik<br />a. Tanda-tanda vital<br />Kaji adanya peningkatan temperatur, takikardi, dan penurunan tekanan darah (Donna D, 1995). Demam merupakan gejala yang umum biasanya (dari 39° C). demam berkepanjangan dapat menandakan adanya komplikasi gastrointestinal dari penyakit seperti peritonitis, kolesistitis atau absese intra abdomen (Huddak & Gallo, 1996).<br />b. Sistem gastrointestinal<br />Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri abdomen. Juga terdapat distensi abdomen bagian atas dan terdengar bunyi timpani. Bising usus menurun atau hilang karena efek proses peradangan dan aktivitas enzim pada motilitas usus. Hal ini memperberat ketidakseimbangan cairan pada penyakit ini.<br />Pasien dengan penyakit pankreatitis yang parah dapat mengalami asites, ikterik dan teraba massa abdomen (Huddak & Gallo, 1996).<br />c. Sistem cardiovaskular<br />Efek sistemik lainnya dari pelepasan kedalam sirkulasi adalah vasodilatasi perifer yang pada gilirannya dapat menyebabkan hipotensi dan syok.<br />Penurunan perfusi pankreas dapat menyebabkan penurunan faktor depresan miokardial (MDF). Faktor depresan miokardial diketahui dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Seluruh organ tubuh kemudian terganggu (huddak & Gallo, 1996).<br />d. Sistem sirkulasi<br />Resusitasi cairan dini dan agresif diduga dapat mencegah pelepasan MDF. Aktivasi tripsin diketahui dapat mengakibatkan abnormalitas dalam koagulitas darah dan lisis bekuan. Koagulasi intravaskular diseminata dengan keterkaitan dengan gangguan perdarahan selanjutnya dapat mempengaruhi keseimbangan cairan (Sabiston, 1994).<br />e. Sistem respirasi<br />Pelepasan enzim-enzim lain (contoh fosfolipase) diduga banyak menyebabkan komplikasi pulmonal yang berhubungan dengan pankretitis akut. Ini termasuk hipoksemia arterial, atelektasis, efusi pleural, pneumonia, gagal nafas akut dan sindroma distress pernafasan akut (Huddak & gallo, 1996).<br />f. Sistem metablisme<br />Komplikasi metabolik dari pankreatitis akut termasuk hipokalsemia dan hiperlipidemia yang diduga berhubungan dengan daerah nekrosis lemak disekitar daerah pankreas yang meradang. Hiperglikemia dapat timbul dan disebabkan oleh respon terhadap stress. Kerusakan sel-sel inset langerhans menyebabkan hiperglikemia refraktori. Asidosis metabolik dapat diakibatkan oleh hipoperfusi dan aktivasi hipermetabolik anaerob (Huddak & Gallo,1996).<br />g. Sistem urinari<br />Oliguria, azotemia atau trombosis vena renalis bisa menyebabkan gagal ginjal (Sabiston, 1994).<br />h. Sistem neurologi <br />Kaji perubahan tingkah laku dan sensori yang dapat berhubungan dengan penggunaan alkohol atau indikasi hipoksia yang disertai syok (Donna D, 1995)<br />i. Sistem integumen<br />Membran mukosa kering, kulit dingin dan lembab, sianosis yang dapat mencerminkan dehidrasi ringan sampai sedang akibat muntah atau sindrom kebocoran kapiler.<br />Perubahan warna keunguan pada panggul (tanda turney grey) atau pada area periumbilikus (tanda cullen) terjadi pada nekrosis hemoragik yang luas (Sandra M, 2001). <br /><br />J. MASALAH KEPERAWATAN<br />a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi<br />b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual muntah<br />c. Defisit volume cairan berhubungan dengan diaphoresis, mual, muntah<br />d. Pola pernafasan yang tidak efektif berhubungan imobilisasi akibat rasa nyeri yang hebat, infiltrat pulmoner, efusi pleura dan atelektasis<br />e. Resiko infeksi berhubungan dengan imobilisasi, proses inflamasi, akumulasi cairan<br />f. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan<br />K. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERWATAN<br />1. Nyeri Berhubungan Dengan Proses Inflamasi<br />Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol<br />Kriteria standart : Pasien menyatakan nyeri hilang/terkontrol Pasien mengikuti program terapeutik menunjukkan metode mengurangi nyeri <br />Intervensi dan Rasional :<br />1. Selidiki keluhan verbal nyeri, lihat lokasi dan intensitas khusus (skala 0 -10). Catat faktor-faktor yang meningkatkan dan mengurangi nyeri.<br />Rasional : Pengkajian dan pengendalian rasa nyeri sangat penting karena kegelisahan pasien meningkatkan metabolisme tubuh yang akan menstimulasi sekresi enzim-enzim pankreas dan lambung.<br />2 Pertahankan tirah baring selama serangan akut. Berikan lingkungan yang tenang.<br />Rasional : menurunkan laju metabolik dan rangsangan/ sekresi GI sehingga menurunkan aktivitas pankreas.<br />3 Ajarkan teknik distraksi relaksasi<br />Rasional : mengalihkan perhatian dapat meningkatkan ambang nyeri/ mengurangi nyeri.<br />4 Pertahankan lingkungan bebas lingkungan berbau.<br />Rasional : rangsangan sensori dapat mengaktifkan enzim pankreas, meningkatkan nyeri.<br />5 Kolaborasi pemberian analgesik narkotik, contoh meferidin (demerol).<br />Rasional : meferidin biasanya efektif pada penghilangan nyeri.<br />6 Siapkan untuk intervensi bedah bila diindikasikan.<br />Rasional : bedah eksplorasi mungkin diperlukan pada adanya nyeri/ komplikasi yang tak hilang pada trakts billier.<br />2. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Berhubungan Dengan Mual Muntah<br />Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2×24 jam.<br />Kriteria standart : Menunjukkan peningkatan berat badan <br />Tidak mengalami malnutrisi<br />Intervensi dn Rasional :<br />1. Kaji abdomen, catat adanya/ karakter bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual.<br />Rasional : Distensi usus dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan/ tak adanya bising usus.<br />2. Berikan perawatan oral higiene<br />Rasional : menurunkan rangsangan muntah.<br />3. Bantu pasien dlam pemilihan makanan/ cairan yang memenuhi kebutuhan nutrisi dan pembatasan bila diet dimulai.<br />Rasional : kebiasaan diet sebelumnya mungkin tidak memuaskan pada pemenuhan kebutuhan saat ini untuk regenerasi jaringan dan penyembuhan.<br />4. Observasi warna/ konsistensi/ jumlah feses. Catat konsistensi lembek/ bau busuk.<br />Rasional : steatorea terjadi karena pencernaan lemak tak sempurna.<br />5. Tes urine untuk gula dan aseton<br />Rasional : deteksi dini pada penggunaan glukosa tak adekuat dapat mencegah terjadinya ketoasidosis.<br />6. Kolaborasikan pemberian vitamin ADEK<br />Rasional : kebutuhan penggantian seperti metabolisme lemak terganggu, penurunan absorbsi/ penyimpangan vitamin larut dalam lemak.<br />7. Kolaborasikan pemberian trigliserida rantai sedang (contoh : MCT, portagen)<br />Rasional : MCT memberikan kalori/ nutrien tambahan yang tidak memerlukan enzim pankreas untuk pencernaan/ absorbsi.<br />3. Defisit Volume Cairan Berhubungan Dengan Diaphoresis, Mual, Muntah<br />Tujuan : volume cairan tubuh pasien terpenuhi setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1×24 jam.<br />Kriteria standart : mempertahankan hidarasi kuat, tanda-tanda vital adekuat.<br />Intervensi dan Rasional :<br />1. Awasi tekanan darah dan ukur CVP bila ada<br />Rasional : penurunan curah jantung/ perfusi organ buruk sekunder terhadap episode hipotensi dapat mencetuskan luasnya komplikasi sistemik.<br />2. Ukur masukan dan haluaran cairan termasuk muntah atau aspirasi gaster, diare.<br />Rasional : indikator kebutuhan penggantian/ keefektifan terapi<br />3. Timbang berat badan sesuai dengan indikasi<br />Rasional : penurunan berat badan menunjukkan hipovolemia.<br />4. Observasi dan catat edema perifer dan dependen<br />Rasional : perpindahan cairan atau edema terjadi sebagai kibat peningkatan permeabilitas vaskuler, retensi natrium, dan penurunan tekanan koloid pada kompartemen intravaskuler.<br />5. Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi dan irama<br />Rasional : perubahan jantung/ disritmia dapat menunjukkan hipovolemia dan/ketidakseimbangan elektrolit, umumnya hipokalemia/ hipokalsemia.<br />6. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi contoh cairan garam faal, albumin, produk darah/ darah, dekstran.<br />Rasional : cairan garam faal dan albumin dapat digunakan untuk mengikatkan mobilisasi cairan kembali kedalam area vaskuler.<br />4. Pola Pernafasan Yang Tidak Efektif Berhubungan Dengan Imobilisasi<br />Akibat Rasa Nyeri Yang Hebat, Infiltrat Pulmoner, Efusi Pleura, Dan Atelektasis<br />Tujuan : perbaikan fungsi respiratorius<br />Kriteria standart : setelah dilakukan perawatan selama 1×24 jam pola pernafasan klien kembali normal<br />Intervensi dan Rasional :<br />1. Kaji status pernafasan (frekuensi, pola, suara nafas) pulsa oksimetri dan gas darah arteri<br />Rasional : pankreatitis akut menyebabkan edema retroperitonial, elevasi diafragma, efusi pleura dan ventilasi paru tidak adekuat.<br />2. Pertahankan posisi semi fowler<br />Rasional : penurunan tekanan pada diafragma dan memungkinkan ekspansi paru yang lebih besar.<br />3. Beritahukan dan dorong pasien untuk melakukan nafas dalam dan batuk setiap jam sekali.<br />Rasional : menarik nafas dalam dan batuk akan membersihkan saluran nafas dan mengurangi atelektasis.<br />4. Bantu pasien membalik tubuh dan mengubah posisi tiap 2 jam sekali.<br />Rasional : Pengubahan posisi sering membantu aerasi dan drainase semua lobus paru.<br />5. Resiko Infeksi Berhubungan Dengan Immobilisasi, Proses Inflamasi, Akumulasi Cairan<br />Tujuan : Setelah diadakan intervensi keperawatan klien tidak mengalami infeksi/infeksi tidak terjadi.<br />Kriteria Standart :<br />§ Meningkatkan waktu penyembuhan<br />§ Klien bebas infeksi <br />§ Berpartisipasi pada aktifitas untuk mengurangi resiko nyeri<br />Intervensi dan rasional:<br />1. Gunakan teknik aseptik ketat bila mengganti balutan bedah atau bekerja dengan infus kateter/selang,drain.Ganti balutan dengan cepat.<br />Rasional : membatasi sumber infeksi,dimana dapat menimbulkan sepsis pada pasien. <br />2. Tekankan pentingnya mencuci tangan dengan baik.<br />Rasional : menurunkan resiko kontaminasi silang.<br />3. Observasi frekuensi dan krakteristik pernapasan,bunyi napas.Cata adanya batuk dan produksi sputum.<br />Rasional : akumulasi cairan dan keterbatasan mobilitas mencetuskan infeksi pernapasan dan atelektasis.<br />4. Observasi tanda infeksi seperti demam dan distress pernapasan.<br />Rasional : mendeteksi dini terjadinya infeksi pada pasien. <br />6. Defisit Pengetahuan Tentang Kondisi,Prognosis Dan Kebutuhan Pengobatan.<br />Tujuan : Klien memahami tentang proses penyakit dan prognosanya setelah dilakukan penyuluhan kesehatan.<br />Kriteria Standart:<br />§ Memahami proses penyakit dan prognosanya.<br />§ Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.<br />Intervensi dan Rasional:<br />1. Kaji ulang penyebab khusus terjadinya episode dan prognosis<br />Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.<br />2. Diskusi penyebab lain/faktor yang berhubungan.Contoh : masukan alcohol berlebihan, penyakit kandung empedu,ulkus duodenum, hiperlipidemia,dan beberapa obat (contoh:kontrasepsi oral,tiazid,lasix).<br />Rasional : penghindaran dapat membantu membatasi kerusakan dan mencegah terjadinya kondisi kronis.<br />3. Anjurkan menghentikan merokok<br />Rasional : nikotin merangsang sekresi gaster dan aktivitas pankreas yang tak perlu.<br />4. Diskusikan tanda dan gejala DM ,contoh : polidipsia, poliuria, kelemahan, penurunan berat badan.<br />Rasional : kerusakan sel beta dapat mengakibatkan gangguan produksi insulin sementara atau permanen.skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2459320509928537360.post-28309681441647711282009-12-16T22:15:00.000-08:002009-12-16T22:19:22.337-08:00ASKEP DIARE<div align="justify"><strong>ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE<br /></strong><br /><br />A. PENGERTIAN.<br />Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.<br />Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.<br />Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.<br />Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.<br /><br />B. PENYEBAB<br />Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:<br />1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:<br />a) Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.<br />b) Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.<br /><br />2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:<br />a) malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.<br />b) Kurang kalori protein.<br />c) Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.<br />Sedangkan menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:<br />1. Faktor infeksi<br />a) Infeksi enteral<br />Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia, trichomonas homunis) jamur (canida albicous).<br />b) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah dua (2) tahun.<br />2. Faktor malaborsi<br />Malaborsi karbohidrat, lemak dan protein.<br />3. Faktor makanan<br />4. Faktor psikologis<br /><br /><br /><br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.<br />Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.<br />Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.<br />Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.<br />Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:<br />1. Kehilangan air (dehidrasi)<br />Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.<br />2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)<br />Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.<br />3. Hipoglikemia<br />Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.<br /><br />4. Gangguan gizi<br />Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:<br />- Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.<br />- Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.<br />- Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.<br />5. Gangguan sirkulasi<br />Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.<br /><br />D. MANIFESTASI KLINIS DIARE<br />1. Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.<br />2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.<br />3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.<br />4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.<br />5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.<br />6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.<br />7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).<br />8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).<br /><br />D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK<br />1. Pemeriksaan tinja<br />a) Makroskopis dan mikroskopis<br />b) PH dan kadar gula dalam tinja<br />c) Bila perlu diadakan uji bakteri<br />2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.<br />3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.<br />4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.<br /><br />E. KOMPLIKASI<br />1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).<br />2. Renjatan hipovolemik.<br />3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).<br />4. Hipoglikemia.<br />5. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.<br />6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.<br />7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.<br />F. DERAJAT DEHIDRASI<br />Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:<br />a. Kehilangan berat badan<br />1) Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.<br />2) Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.<br />3) Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%<br />b. Skor Mavrice King<br />Bagian tubuh<br />Yang diperiksa Nilai untuk gejala yang ditemukan<br />0 1 2<br />Keadaan umum<br /><br />Kekenyalan kulit<br />Mata<br />Ubun-ubun besar<br />Mulut<br />Denyut nadi/mata Sehat<br /><br />Normal<br />Normal<br />Normal<br />Normal<br />Kuat <120>40<br /><br />Keterangan<br />- Jika mendapat nilai 0-2 dehidrasi ringan<br />- Jika mendapat nilai 3-6 dehidrasi sedang<br />- Jika mendapat nilai 7-12 dehidrasi berat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />c. Gejala klinis<br />Gejala klinis Gejala klinis<br />Ringan Sedang Berat<br />Keadaan umum<br />Kesadaran<br />Rasa haus<br />Sirkulasi<br />Nadi<br />Respirasi<br />Pernapasan<br />Kulit<br />Uub<br />Baik (CM)<br />+<br /><br />N (120)<br /><br />Biasa<br /><br />Agak cekung<br />Agak cekung<br />Biasa<br />Normal<br />Normal<br />Gelisah<br />++<br /><br />Cepat<br /><br />Agak cepat<br /><br />Cekung<br />Cekung<br />Agak kurang<br />Oliguri<br />Agak kering<br />Apatis-koma<br />+++<br /><br />Cepat sekali<br /><br />Kusz maull<br /><br />Cekung sekali<br />Cekung sekali<br />Kurang sekali<br />Anuri<br />Kering/asidosis<br /><br />G. KEBUTUHAN CAIRAN ANAK<br />Tubuh dalam keadaan normal terdiri dari 60 % air dan 40 % zat padat seperti protein, lemak dan mineral. Pada anak pemasukan dan pengeluaran harus seimbang, bila terganmggu harus dilakukan koreksi mungkin dengan cairan parentral, secara matematis keseimbangan cairan pada anak dapat di gambarkan sebagai berikut :<br /><br />Umur Berat Badan Total/24 jam Kebutuhan Cairan/Kg BB/24 jam<br />3 hari<br />10 hari<br />3 bulan<br />6bulan<br />9 bulan<br />1 tahun<br />2 tahun<br />4 tahun<br />6 tahun<br />10 tahun<br />14 tahun<br />18 tahun 3.0<br />3.2<br />5.4<br />7.3<br />8.6<br />9.5<br />11.8<br />16.2<br />20.0<br />28.7<br />45.0<br />54.0 250-300<br />400-500<br />750-850<br />950-1100<br />1100-1250<br />1150-1300<br />1350-1500<br />1600-1800<br />1800-2000<br />2000-2500<br />2000-2700<br />2200-2700 80-100<br />125-150<br />140-160<br />130-155<br />125-165<br />120-135<br />115-125<br />100-1100<br />90-100<br />70-85<br />50-60<br />40-50<br /><br />Whaley and Wong (1997), Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil 1998), Suharyono, Aswitha, Halimun (1998) dan Bagian Ilmu Kesehatan anak FK UI (1988), menyatakan bahwa jumlah cairan yang hilang menurut derajat dehidrasi pada anak di bawah 2 tahun adalah sebagai berikut :<br />Derajat Dehidrasi PWL NWL CWL Jumlah<br />Ringan<br />Sedang<br />Berat 50<br />75<br />125 100<br />100<br />100 25<br />25<br />25 175<br />200<br />250<br /><br />Keterangan :<br />PWL : Previous Water loss (ml/kg BB)<br />NWL : Normal Water losses (ml/kg BB)<br />CWL : Concomitant Water losses (ml/kg BB)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />H. PATHWAYS<br />Faktor infeksi Faktor malabsorbsi Gangguan peristaltik<br /><br />Endotoksin Tekanan osmotik ↑ Hiperperistaltik Hipoperistaltik<br />merusak mukosa<br />usus Pergeseran cairan Makanan tidak Pertumbuhan bakteri<br />dan elektrolit ke sempat diserap<br />lumen usus Endotoksin berlebih<br /><br />Hipersekresi cairan<br />dan elektrolit<br />Isi lumen usus ↑<br /><br />Rangsangan pengeluaran<br /><br />Hiperperistaltik<br /><br />Diare<br /><br />Gangguan keseimbangan cairan Gangguan keseimbangan elektrolit<br /><br />Kurang volume cairan (dehidrasi) Hiponatremia<br />Hipokalemia<br />Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia, Penurunan klorida serum<br />mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit<br />kurang, mukosa mulut kering, mata dan Hipotensi postural, kulit dingin, ubun-ubun cekung, peningkatan suhu tremor<br />tubuh, penurunan berat badan kejang, peka rangsang, denyut jantung cepat dan lemah<br />(Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare, 2002<br /><br /><br />I. PENTALAKSANAAN<br />1. Medis<br />Dasar pengobatan diare adalah:<br />a. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.<br />1) Cairan per oral<br />Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.<br />2) Cairan parentral<br />Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:<br />- Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg<br />• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).<br />• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).<br />• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit<br />- Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg<br />• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />- Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg<br />• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).<br />• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.<br />- Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg<br />• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1½ %.<br />Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).<br />• Untuk bayi berat badan lahir rendah<br />Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1½ %).<br />b. Pengobatan dietetik<br />Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:<br />- Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh<br />- Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)<br />- Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.<br />c. Obat-obatan<br />Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.<br />2. Keperawatan<br />Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.<br />Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.<br />a. Data fokus<br />1) Hidrasi<br />- Turgor kulit<br />- Membran mukosa<br />- Asupan dan haluaran<br />2) Abdomen<br />- Nyeri<br />- Kekauan<br />- Bising usus<br />- Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik<br />- Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik<br />- Kram<br />- Tenesmus<br />b. Diagnosa keperawatan<br />- Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.<br />- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.<br />- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.<br />- Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.<br />- Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.<br />c. Intervensi<br />1) Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit<br />- Pantau cairan IV<br />- Kaji asupan dan keluaran<br />- Kaji status hidrasi<br />- Pantau berat badan harian<br />- Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi<br />- Melalui mulut<br />2) Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut<br />- Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.<br />- Hindari memberikan susu produk.<br />- Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.<br />3) Cegah iritasi dan kerusakan kulit<br />- Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.<br />- Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.<br />- Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).<br />4) Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).<br />5) Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.<br />- Sediakan mainan sesuai usia.<br />- Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.<br />- Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.<br />6) Berikan dukungan emosional keluarga.<br />- Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.<br />- Rujuk layanan sosial bila perlu.<br />- Beri kenyamanan fisik dan psikologis.<br />7) Rencana pemulangan.<br />- Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.<br />- Kuatkan informasi tentang diet.<br />- Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.<br />- Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan<br />Pediatik, Jakarta, EGC<br />2. Sachasin Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatik. Alih bahasa :<br />Manulang R.F. Jakarta, EGC<br />4. Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya baru<br /></div>skripsihttp://www.blogger.com/profile/14736629569819058630noreply@blogger.com0